REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nasib Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Zat Aditif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (RPP Tembakau) yang belum jelas waktu pengesahannya dinilai lebih bermuatan politis, kata anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
"RPP Tembakau lebih dominan dijadikan komoditas politik oleh pemerintah sehingga sampai sekarang belum disahkan," kata Tulus dalam diskusi RPP pengendalian dampak tembakau di Jakarta, Selasa (18/12).
Menurut dia, konten RPP sudah tidak bermasalah. Proses pengesahan RPP saat ini mandek di Kementerian Keuangan. Meski demikian pihaknya tidak mengetahui alasan Menteri Keuangan, Agus Martowardojo, belum memberi persetujuan.
Di sisi lain, Tulus juga mempertanyakan adanya syarat penandatanganan persetujuan dari Menko Polhukam dalam pengesahan RPP ini. "Yang nggak masuk akal RPP ini harus mendapatkan dukungan dari menteri polhukam, ini kan soal kesehatan, apa hubungannya dengan stabilitas negara, kok menkopolhukam ikut campur?" katanya.
Lebih lanjut, dia menduga ketidakjelasan pengesahan RPP Tembakau ini karena adanya intervensi kuat dari industri rokok. "Intervensi industri rokok itu pasti, kementerian justru mewakili industri, bukan rakyat," katanya.
Menurut dia, RPP hanya mengatur hak publik tentang konsumsi tembakau, bukan mengatur tata niaga tembakau, sehingga tidak akan membahayakan kepentingan industri rokok dan petani tembakau.
RPP Tembakau seharusnya sudah disahkan sejak 2010 yang bertepatan dengan satu tahun setelah disahkannya Undang-undang Kesehatan pada 2009. Tetapi hingga saat ini proses pengesahan masih molor.