Rabu 19 Dec 2012 21:30 WIB

KH Muntaha Al-Hafidz, Sang Maestro Alquran (2)

Rep: Mohammad Akbar/ Red: Chairul Akhmad
KH Muntaha al-Hafidz.
Foto: blogspot.com
KH Muntaha al-Hafidz.

REPUBLIKA.CO.ID, Seperti kebanyakan ulama NU, Kiai Muntaha pun menghabiskan banyak waktu untuk memperdalam ilmu agama dengan berkelana ke sejumlah pesantren.

Ia terlahir dari keluarga santri. Ayahnya adalah KH Asy'ari bin KH Abdurrahim bin K Muntaha bin K Nida Muhammad.

Sementara, ibunya bernama Hj Syafinah. Sang ayah merupakan generasi kedua pengurus Ponpes Al-Asy'ariah. Adapun generasi pertamanya adalah Kiai Abdurrahman, sang kakek yang merupakan ulama seperjuangan dengan Pangeran Diponegoro.

Seperti kebanyakan ulama NU, Kiai Muntaha pun menghabiskan banyak waktu untuk memperdalam ilmu agama dengan berkelana ke sejumlah pesantren.

Dalam hal ini, peran sang ayah sangat besar. Dari ayahnya, Muntaha kecil mendapatkan bekal pertama untuk mengakrabi Alquran.

Setelah memperoleh bekal keilmuan dari sang ayah, Muntaha mulai berkelana. Pendidikan formal agamanya diawali sebagai santri di Darul Ma'arif, Banjarnegara. Pengasuh perguruan ini adalah Syekh Muhammad Fadhlullah as-Suhaimi yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Muntaha.

Tamat dari Darul Ma'arif, Muntaha mondok di Pesantren Tahfidzul Qur'an Kaliwungu, Kendal. Di tempat ini, ia dibimbing langsung oleh KH Utsman dan berhasil menghafal Alquran. Saat itu, Muntaha masih berusia 16 tahun.

Meski telah hafal Alquran, bukan berarti perjalanan Muntaha dalam menuntut ilmu, berhenti. Sejarah mencatat, ia kemudian berguru kepada Kiai Munawwir Alhafidz di Pondok Pesantren Krapyak.

Dari Krapyak, ia nyantri di Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia mendalami ilmu hadis, fikih, dan tafsir di bawah asuhan Kiai Dimyati yang banyak melahirkan ulama besar di negeri ini.

Sebuah catatan menyebut, Muntaha memiliki kebiasaan yang jarang dilakukan orang lain, utamanya dalam menempuh perjalanan menuju pesantren yang akan menjadi tempatnya belajar.

Kebiasaan yang dimaksud adalah berjalan kaki menuju Pesantren Kaliwungu, Pesantren Krapyak hingga Pesantren Termas. Hal unik ini dilakukan semata-mata untuk mempertegas keikhlasannya dalam mencari keberkahan ilmu.

Berjalan kaki  menuju pesantren-pesantren tersebut tentu butuh waktu cukup lama. Nah, saat beristirahat di perjalanan, ia selalu berusaha memanfaatkan waktu untuk mengkhatamkan Alquran.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement