REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung dinilai sebagai institusi penegak hukum yang rawan korupsi. Institusi yang kerap dijuluki Korps Adhyaksa itu mengalami banyak pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Kejaksaan selama kurun waktu empat tahun terakhir ini, termasuk di 2012.
Kondisi tersebut membuat sejumlah pihak khawatir. Dicemaskan, maraknya pelanggaran ini dapat memunculkan sentimen negatif masyarakat pada lembaga sentral di bidang hukum Indonesia ini.
Diketahui, sejak tahun 2009 sebanyak 953 bentuk perbuatan tercela terbukti dilakukan oleh sejumlah oknum kejaksaan hingga September 2012. Padahal, aturan telah diberlakukan agar dapat menekan pelanggaran oleh oknum Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya.
Menanggapi hal tersebut, Jaksa Agung, Basrief Arief, di medio Juli 2012 menyampaikan pendapatnya. Dia menilai bisa saja institusinya dikategorikan rawan korupsi. "Saya kira kalau rawan (korupsi) itu bisa saja, Kejaksaan sendiri ada sekitar delapan ribuan, membawahi lima belas sampai dua puluh ribu Jaksa," katanya.
Dia mengatakan silakan saja institusinya dikategorikan rawan. Yang jelas, tambah Basrief, pihaknya terus melakukan pembenahan. Lagi pula, institusinya dalam hal keuangan mendapat predikat wajar tanpa pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Ini harus dipertahankan," paparnya.
***
Basrief mengingatkan bahwa laporan berkaitan dengan tudingan institusinya rawan korupsi adalah laporan tahun 2008-2010. Basrief menegaskan, sejak tahun 2009, institusinya terus melakukan perbaikan. Pada tahun 2011, laporan BPK menetapkan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), terhadap pengelolaan uang Kejaksaan Agung, sedangkan tahun sebelumnya, Kejaksaan mendapat predikat Wajar Dengan Pengecualian.
Sementara itu, Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) menuding Kejaksaan Agung sebagai institusi pemerintah yang paling rawan korupsi. Hal itu didasarkan pada laporan BPK tahun 2008-2010. Di lembaga itu terdapat potensi kerugian negara sekitar Rp 5,43 triliun dari total potensi kerugian negara senilai Rp 16,4 triliun di 83 kementerian atau lembaga negara.
BPK menemukan sebanyak 473 kasus penyimpangan penggunaan anggaran di Kejaksaan. Namun, sebanyak 427 kasus dengan nilai potensi kerugian negara sebesar Rp 5,4 triliun belum ditindaklanjuti Kejaksaan.
Beberapa pelanggaran diakui terjadi di Kejaksaan. "Semua pelanggaran yang selama ini terjadi membuat citra buruk melekat pada Kejaksaan. Tentu hal ini berdampak tidak baik, kepercayaan masyarakat lambat laun bisa luntur kepada lembaga ini," ujar Wakil Kepala Kejaksaan Agung, Darmono, beberapa waktu lalu.
Ia mengakui, citra negatif yang melekat pada Kejaksaan turut serta membuat kredibilitas Kejaksaan diragukan. Padahal, sebagai lembaga tempat masyarakat mencari keadilan, tentunya Kejaksaan haruslah dapat dipercaya. Untuk itu, ia meminta kepada seluruh jajarannya agar dapat memegang teguh wewenang yang diemban, agar masyarakat tak kehilangangan tempat mengadu.
Menurut dia, tak mungkin masyarakat dapat tenang ketika mengurusi suatu hal yang berhubungan dengan keadilan kepada lembaga yang dipandang miring. "Oleh sebab itu, perlu ada kesadaran dari seluruh anggota Kejaksaan baik Jaksa ataupun tata usaha, dalam memberikan pelayanan yang transparan dan acceptable kepada masyarakat.
***
Sejumlah kasus yang berperan memberikan 'warna negatif' bagi Kejaksaan Agung adalah Jaksa Cirus terkait kasus Gayus Tambunan dan suap oknum jaksa di Cibinong.
Selain itu, ada pula ditangkapnya seorang oknum jaksa yang diduga memeras pengusaha, dan langsung ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Tersangka tersebut berinisial AS yang ditangkap di halaman kantornya di Jakarta Pusat. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Arnold Angkouw, di Jakarta, Oktober lalu, membenarkan adanya penangkapan itu dan rencananya akan ditahan di Rutan Kejagung.
"Dia memberi data dan dia juga yang menganjurkan supaya diambil jalan pintas, akhirnya jaksa-jaksa sama tata usaha yang melaksanakan," katanya.
Penangkapan itu terjadi ketika dia hendak melakukan transaksi di parkiran Cilandak Town Square, Jakarta Selatan pada Senin (8/10). Dari tangannya diperoleh uang Rp 50 juta, sedangkan nilai uang yang akan diperas dari pengusaha itu mencapai angka Rp2,5 miliar. Dari proses pengembangan diketahuilah adanya keterlibatan dua oknum jaksa bersama salah seorang pegawai tata usaha di Kejagung yang berinisial S.
***
Selain dilanda dengan pelanggaran etika dan hukum oleh oknum jaksa, Kejaksaan juga dinilai tidak tegas dalam menjalankan hukuman bagi para pelaku pelanggaran hukum. Hal ini dicontohkan dengan eksekusi para koruptor oleh kejaksaan.
Contohnya terjadi pada bupati Lampung Timur nonaktif, Satono yang kabur dalam panggilan eksekusi dan ditetapkan menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Senin (9/4).
Menurut Indonesia Corruption watch (ICW), hal tersebut karena ketidaktegasan pihak tim eksekusi kejaksaan sehingga banyak terpidana koruptor yang kabur. "Ditambah Satono, jadi ada sebanyak 26 terpidana koruptor yang kabur dari pelaksanaan eksekusi. Ini karena kejaksaan yang tidak tegas," kata anggota badan pekerja ICW, Emerson Yuntho.
Emerson menjelaskan ada dua hal yang seharusnya dilakukan pihak Kejaksaan Agung dalam melakukan eksekusi terhadap terpidana koruptor. Pertama, pihak kejaksaan tidak kompromi terhadap para koruptor dan perlu adanya percepatan eksekusi, dengan salinan putusan atau hanya dengan petikan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
Berdasarkan catatannya, sudah ada sebanyak 25 terpidana koruptor yang melarikan diri sebelum sempat dilakukan eksekusi. Dengan Satono yang juga kabur, menambah daftar panjang terpidana koruptor yang melarikan diri dari eksekusi kejaksaan.
Hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pihak kejaksaan untuk tidak menunda pelaksanaan eksekusi terhadap para terpidana koruptor. Namun sering kali, Kejaksaan Agung kerap berdalih belum menerima salinan putusan sehingga belum dapat melakukan eksekusi. Padahal dengan petikan putusan, seperti yang terdapat di situs resmi MA, pihak kejaksaan sudah dapat melakukan eksekusi.
Jadi, bagaimana korps ini akan memiliki 'warna positif' di dunia penegakan hukum? Tentunya berbagai perbaikan perlu dilakukan. Namun, seringkali upaya itu terbentur dengan berbagai masalah, termasuk para oknum interen kejaksaan sendiri.