Selasa 25 Dec 2012 19:36 WIB

Mesir, Negeri yang Terbelah (2-habis)

Seorang pria Mesir menunjukkan jari kirinya usai memberikan suara dalam referendum tahap kedua atas konstitusi baru.
Foto: AP
Seorang pria Mesir menunjukkan jari kirinya usai memberikan suara dalam referendum tahap kedua atas konstitusi baru.

REPUBLIKA.CO.ID, Mengacu pada hasil pemilu presiden pada Juni lalu, suara terpolarisasi di kalangan Rakyat Mesir sebenarnya sudah terlihat gamblang. Saat itu Muhammad Mursi tidak menang telak, melainkan tipis terpaut hanya 1 juta suara dari pesaingnya, Ahmad Shafik, tokoh era Mubarak yang didukung mayoritas liberal.

Perbedaan suara Mursi dan Shafik adalah 51:49 atau 13,2 juta suara banding 12,3 juta suara. Keunggulan sangat tipis itu dipahami pengamat tak memberikan cukup kekuatan terlegitimasi bagi Mursi untuk menentukan halauan konstitusi tanpa dukungan kubu oposisi.

Prinsip-prinsip Syariah

Kenyataannya konsensus antara Mursi dengan oposisi tidak terjadi. Tidak pernah ada titik temu antara Ikhwanul Muslimin dan kubu liberal dalam pembahasan konstitusi yang mulai berjalan Juni lalu di Majelis Rakyat. Kebuntuan terparah terjadi pada November lalu ketika agenda pembahasan masuk ke perancangan pasal syariah.

Saat itu kedua kubu sudah menyepakati bersama bahwa pasal 2 dalam draf konstitusi--berisikan total 230 pasal--itu berbunyi, "Prinsip-prinsip Syariah adalah Sumber Hukum". Namun begitu masuk pasal 219, konsensus antara pendukung Mursi dan oposisi ambyar.

Dalam pasal itu anggota parlemen dari Ikhwanul Muslimin mendesakkan aturan dan penjelasan tentang prinsip-prinsip syariah. Kelompok Salafi dan Ikhwanul berkeras bahwa prinsip syariah yang dimaksudkan dalam pasal 2 harus dijelaskan lebih luas dalam pasal 219, meliputi adilla kulli (kaidah universal), qawaid ushuliyah (ushul fikih), qawaid fiqhiyyah (kaidah fikih), dan tak ketinggalan, sumber-sumber kitab Sunni.

Tentu saja, rumusan itu menjadikan draf konstitusi modern Mesir sarat dengan istilah-istilah teknis dalam fikih dan membutuhkan pemahaman kuat terhadap metodologi hukum Islam. Itu artinya, bila disahkan, hukum bukan hanya wilayah milik hakim dan mahkamah konstitusi melainkan juga para ulama.

Keberadaan pasal 219 itulah yang ditolak keras oleh kubu liberal. Mereka menilai pasal itu adalah upaya Ikhwanul Muslimin dan Salafi untuk menggiring Mesir menuju negara Islam. Sedangkan suara-suara dari kaum Salafi menyebut kubu liberal terlalu paranoid.

Perwakilan Kristen Koptik di majelis, seperti dilaporkan Alljazirah, melakukan aksi walk out, disusul oleh koalisi partai liberal. Situasi itu otomatis hanya menyisakan kaum Salafi dan Ikhwanul Muslimin dalam Majelis Rakyat. Golongan yang tersisa inilah yang terus merumuskan dan menyusun draf konstitusi hingga akhir.

Kondisi yang disesalkan oposisi, meski konstitusi disusun oleh 'komposisi berat sebelah' di Majelis Rakyat, referendum tetap berjalan sesuai jadwal. Jalan tengah sebenarnya telah diupayakan oleh Mursi dengan memundurkan tenggat penyusunan konstitusi dua bulan lagi.

Sayangnya, dekrit yang dibuat Mursi juga mengandung kontroversi, salah satunya mengatur bahwa presiden memiliki kekebalan hukum hingga konstitusi baru disahkan. Dekrit itu kontan memicu penolakan lebih luas dari kubu oposisi. Sepekan kemudian dekrit tersebut dicabut setelah protes bergulir tanpa henti.

Pencabutan dekrit ternyata tak mengubah jadwal referendum. Kelompok liberal yang kian gusar menuding Mursi terlalu mengakomodasi kaum Salafi dan golongan Ikhwanul Muslimin. Demonstrasi pun kembali pecah.

Menilai upaya demonstrasi tak mempan untuk menghentikan atau bahkan sekadar memundurkan jadwal referendum, kubu oposisi banting setir. Mereka mencoba mengkalkulasi peluang dengan mendukung referendum, namun dengan opsi 'tidak'. Serentak oposisi Mesir mendorong warga tetap datang ke kotak suara tapi demi memberikan suara penolakan.

Meski oposisi gencar mengampanyekan 'suara tidak', pengamat meragukan mereka akan menang. Ashraf Khalil, pengamat politik dalam negeri Mesir dan jurnalis berbasis di Kairo, menyatakan figur-figur penentang Mursi yang paling kuat dan berpengaruh, seperti Mohamed Mustafa ElBaradei, sebenarnya ragu bisa unggul saat konstitusi dilepas ke referendum.

Kelompok Salafi dan Ikhwanul Muslimin diprediksi menang dan meraup lebih banyak suara 'ya' meski diperkirakan dengan selisih tipis seperti halnya pemilu presiden Mesir Juni lalu. Bila itu terjadi kedua kubu kemungkinan kian jauh dari konsensus.

Sebenarnya jumlah perbandingan suara saat pemilu presiden, 13,2 vs 12,3 juta suara telah melukiskan situasi jelas bahwa kubu Ikhwanul Muslimin dan oposisi sama-sama kuat. Saat ini mungkin proses politik memenangkan dan menguntungkan Ikhwanul Muslimin, tapi dalam konstelasi itu ada persoalan lebih krusial: Mesir berpotensi kian tidak stabil. (selesai--kembali ke bagian I)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement