REPUBLIKA.CO.ID, Tes pranikah banyak berlaku di kawasan Timur Tengah. Pemberlakuannya dilakukan oleh negara.
Biduk rumah tangga kerap oleng akibat cacat fisik atau penyakit yang diketahui pascamenikah, baik yang dimiliki oleh suami maupun istri.
Dalam sejumlah kasus, bahkan masalah ini berujung pada perpisahan keduanya. Dari sinilah, muncul gagasan pelaksanaan tes kesehatan pranikah bagi calon pasangan sua mi-istri (pasutri).
Tes kesehatan pranikah telah terlaksana di kawasan Eropa meski tidak ada ketentuan apakah harus menjadikannya sebagai pertimbangan menikah atau tidak. Di negara-negara Arab, tes kesehatan merupakan salah satu kebijakan otoritas setempat.
Liga Arab merekomendasikan agar tes tersebut dilakukan sebelum kedua calon pasangan suami- istri melangsungkan pernikahan. Kebijakan ini diterapkan di Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, Suriah, Tunisia, dan Maroko. Namun, penggunaan hasilnya opsional.
Kedua calon mempelai berhak memilih antara dua hal setelah mengetahui hasilnya: tetap menikah atau membatalkannya. Di Yordania dan Mesir, hasil tes wajib dijadikan rujukan pertimbangan.
Menurut Prof Abdurrasyid Qasim dalam artikelnya yang berjudul “Al-Fahsh Qabl az- Zawaj”, tes ini memiliki dampak positif dan negatif. Tes ini dinilai bermanfaat karena memberikan informasi terkait penyakit keturunan yang diidap salah satu calon, seperti talasemia.
Upaya ini juga membantu mencegah penyebaran penyakit, seperti penyakit menular seksual dan hepatitis. Ini akan menjaga keselamatan pasutri. Dengan demikian, bila bisa diketahui dan diantisipasi sejak dini, akan menekan risiko perceraian.
Dari sisi lain, pemberlakuannya pun dianggap negatif. Ini mendorong beberapa persepsi salah dari masyarakat soal tes kesehatan itu, antara lain, tes bisa mencegah penyakit genetikal dan anggapan miring bahwa penyebab utama tes ialah nikah kerabat.