REPUBLIKA.CO.ID, Calon pasutri berhak memutuskan sendiri apakah akan mengikuti tes tersebut atau tidak. Tak seorang pun boleh memaksa mereka.
Tes ini juga dinilai memberatkan calon mempelai perempuan. Apalagi, bila hasil tes tersebut telah diketahui banyak orang.
Dan, tentunya pelaksanaan tes akan menyedot anggaran yang luar biasa, baik dari pihak pemerintah maupun calon pasutri.
Karena itulah, kata Prof Qasim, para pakar fikih masa kini tidak sepakat soal hukum tes kesehatan pranikah.
Menurut kelompok pertama, pasutri wajib melakukan tes jika pemerintah memberlakukan kewajiban itu. Negara berhak menerapkan kebijakan tersebut.
Opsi ini merupakan pendapat dari beberapa ulama, di antaranya Prof Muhammad az-Zuhaili, Nashir al-Maiman, Hamdati Maul ‘Ainain, Abdullah Ibrahim Musa, Muhammad Syabir, Arif Ali Arif, dan Usamah al-Asyqar.
Menurut mereka, semangat tes tersebut sejalan dengan prinsip sya riah. Islam menekankan pentingnya menjauhi petaka. Ini seperti disebutkan dalam Surah al-Baqarah ayat 195. Bila telah menjadi ketetapan pemerintah, wajib melaksanakannya. Hal ini tertuang dalam Surah an- Nisaa’ ayat 59.
Hadis Bukhari dari Abu Hu rairah juga menjadi landasan. Ra sulullah SAW meminta mereka yang sehat waspada akan penyakit menular. Kaidah fikih menyatakan, mengantisipasi lebih baik daripada mengobati.
Pendapat kedua menyatakan, calon pasutri berhak memutuskan sendiri apakah akan mengikuti tes tersebut atau tidak. Tak seorang pun boleh memaksa mereka.
Namun, bila sifatnya sekadar dorongan dan motivasi dari pihak yang berwenang, langkah sosialisasi dan edukasi itu diperbolehkan. Opsi ini dipilih oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz, Abdul Karim Zaidan, Muhammad Ra’fat Utsman, dan Muhammad Abd as-Sattar as-Syarif. Menurut mereka, tes kesehatan itu tidak termasuk syarat wajib ataupun syarat sah sebuah pernikahan.
Tes kesehatan ini cukup memberatkan dari segi teknis ataupun biaya. Hal ini mengingat penemuan baru atas penyakit genetikal terus terkuak. Kini, lebih dari 8.000 penyakit genetikal telah ditemukan.
Dalam hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah menegaskan dua hal pertimbangan utama untuk segera menikahkan anak, yaitu agama dan akhlak, bukan kesehatan.