REPUBLIKA.CO.ID, Selain membangun kesadaran kalangan pesantren, langkah selanjutnya adalah melakukan tahqiq atau tanqih.
Ini semacam penelitian filologi yang mendalam terhadap kitab-kitab kuning.
''Tujuannya untuk melakukan kajian kritis terhadap kitab-kitab yang selama ini banyak digunakan di kalangan pesantren sekaligus mewaspadai pola-pola yang mereka lakukan sekaligus sebagai studi perbandingan,'' jelas Wakil Ketua Pimpinan Pusat Lakpesdam Nahdlatul Ulama (NU), Ahmad Baso.
Kepemimpinan kiai
Secara terpisah, Ketua PP RMI NU, KH Amin Haidari, menyatakan pesantren yang mengakomodasi radikalisme tidak akan berkembang.
Sebab, pesantren seperti itu cenderung eksklusif. Masyarakat kerap tidak diikutsertakan dalam aplikasi nilai-nilai keislaman yang diajarkan pesantren seperti itu.
Menurutnya, pesantren yang menganut paham seperti itu cenderung asosial. Lembaga seperti itu merasa dirinyalah yang paling benar sehingga cenderung mengabaikan orang lain. “Orang-orang selain dari kelompoknya belum tentu bisa diterima, kecuali yang memiliki satu pemahaman dengannya,” kata KH Amin.
Kemudian, pesantren seperti itu memang sengaja mengincar generasi anak-anak dan muda. Sebab, usia-usia seperti itu dianggap mudah untuk didoktrin.
Amin menyatakan, kuncinya ada di pimpinan pesantren. Kiai adalah sentral kehidupan pesantren. Kiai adalah nyawa pesantren. "Kalau nyawanya saja sudah mengidap radikalisme, maka pasti pesantren itu sudah tercemar," ujarnya.
Pihaknya berharap, kiai-kiai di pesantren dapat membentengi diri dari pemahaman radikal. Nilai-nilai keislaman di Nusantara sangatlah jauh dari semangat radikalisme. Pesantren, sebagaimana kiai-kiai pejuang dulu, sangat menjauhi radikalisme. "Kearifan lokal selalu dipegang teguh, karena itu kunci untuk berdakwah,” demikian KH Amin.