REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN--Isu Muslim tengah menghangat di Eropa dan Amerika Utara. Selama satu dekade terakhir, isu tentang Islam justru menjadikan komunitas Muslim sasaran tembak. Mereka yang anti-muslim, khususnya yang menganut haluan politik sayap kanan di Eropa, kerap mengangkat isu provokatif tentang Islam.
Doug Sanders, peneliti masalah imigran mengatakan isu tentang Islam menilai semua prasangka buruk itu terjadi karena ketakutan. Ketakutan yang dipicu serangkaian aksi teror yang dilakukan orang yang kebetulan beragama Islam. Celakanya, hal negatif tersebut langsung digeneralisir sebagai ulah keseluruhan umat Muslim.
"Namun, dapat saya pastikan, agama bukanlah penyebab utama dari isu (diskriminasi muslim di Eropa) tersebut," kata dia dalam sesi wawancara bersama Deutsche Welle, Kamis (27/12).
Yang disayangkan lagi, kata Doug, dunia Barat jarang membahas keberhasilan kelompok imigran Muslim. Padahal, di New York misalnya, komunitas Muslim telah bertransformasi menjadi kalangan berada. "Anda bisa bandingkan dengan komunitas Irlandia, Katolik Eropa Selatan, Hispanik dan Yunani di New York, mereka membentuk satu komunitas yang dipandang sebagai kriminal," kata dia.
Contoh lain, lanjut Doug, adalah komunitas Turki. Komunitas ini boleh dikatakan sangat menonjol. Dalam hal ini, taraf pendidikan imigran Turki jauh lebih baik ketimbang imigran lainnya di berbagai belahan dunia.
Namun, lanjut dia, hal itu bukan tanpa masalah. Persoalan status kewarganegaraan dan akses hukum terhadap tidak lantas membaik sekalipun imigran Muslim menunjukkan eksistensinya.
Sebaliknya, diskriminasi tetap tumbuh subur. "Kebanyakan dari mereka (Barat) tetap terjebak dalam masalah (diskriminasi) itu," kata dia.
Ketika ditanya wilayah mana yang lebih baik tingkat penerimaannya terhadap kaum Muslim, Doug menjawab, "Amerika Utara jauh lebih baik,".
Menurut dia, kurang menerimanya bangsa Eropa terlihat dari kebijakan berbeda soal imigran. Sejumlah negara-negara Skandinavia, seperti Swedia dan Norwegia memang sudah memberikan kewarganegaran. Namun dalam beberapa kasus, negara itu juga mengintervensi langsung hidup sang imigran dengan sejumlah aturan pembatasan. "Tak heran, ini menjadi gesekan," kata dia.