REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) mengevakuasi kedutaan besarnya di Republik Afrika Tengah, Kamis (27/12). Untuk sementara, kedutaannya menghentikan operasi, di tengah kekhawatiran keamanan setelah pemberontak merebut sebagian besar wilayah negara itu.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan, pihaknya tidak patah hubungan diplomatik dengan pemerintah terkepung di Bangui, tetapi memperingatkan warga Amerika untuk tidak melakukan perjalanan ke negara itu. Soalnya, kerusuhan terus berlanjut.
Sementara itu, Prancis menempatkan pasukan untuk mengamankan kedutaan besarnya di Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah, setelah pemrotes melempari misi itu dengan batu dan sejumlah orang berhasil memasuki bangunan tersebut, kata Kementerian Pertahanan Prancis, Rabu (26/12).
Presiden Francois Hollande memerintahkan kementerian itu mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk mengamankan kedutaan tersebut dan warga Prancis di Republik Afrika Tengah, kata kantor presiden dalam sebuah pernyataan terpisah. "Langkah-langkah ini segera dilaksanakan dan akan diperpanjang selama yang diperlukan," kata kantor Hollande.
Prancis menempatkan 250 prajurit di Republik Afrika Tengah, yang bermarkas di bandara Bangui. Penempatan pasukan itu untuk misi pemeliharaan perdamaian, kata kementerian pertahanan. Ratusan orang melakukan protes di luar kedutaan itu pada Rabu karena marah atas gerak maju pemberontak di wilayah utara negara tersebut. Seorang menteri pemerintah mendesak campur tangan pasukan Prancis di sana untuk menghentikan pemberontak.
Seorang saksi Reuters di lokasi kejadian mengatakan, sejumlah pemrotes menuduh Prancis membantu pemberontak, sementara yang lain meminta pasukan Prancis di negara itu membantu militer memerangi pemberontak.
Kementerian Pertahanan Prancis mengatakan, pasukan berhasil mengamankan kedutaan itu dan memulihkan ketertiban setelah tiba untuk memperkuat polisi Prancis yang sudah ditempatkan untuk melindungi perwakilan itu.
Para perwira militer Prancis bertindak sebagai penasihat untuk militer Republik Afrika Tengah, dan Paris pada masa silam membantu menggulingkan pemerintah di negara tersebut. Namun, Prancis, yang memiliki pakta pertahanan resmi dengan Republik Afrika Tengah sejak 1960, semakin enggan terlibat langsung dalam konflik-konflik di negara bekas jajahannya itu.