REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menilai pengelolaan biaya perjalanan haji yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kementerian Agama memiliki sejumlah kejanggalan.
"Kami tengah melakukan audit serta analisis pada biaya perjalanan haji," kata Ketua PPATK Muhammad Yusuf saat konferensi pers di Gedung PPATK, Jakarta, Rabu.
Menurut Yusuf, salah satu kejanggalan tersebut yakni tempat pemondokan bagi jamaah haji asal Indonesia yang jaraknya selalu jauh dari Masjidil Haram.
"BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) itu Rp 80 triliun per tahun dan bunganya mencapai Rp 2,3 triliun. Jika dana itu digunakan untuk membeli apartemen di sana, jamaah kita tidak perlu lagi tinggal di pemondokan yang jauh," kata Yusuf.
PPATK juga menyoroti lembaga keuangan yang dipilih untuk menyimpan dana penyelenggaraan haji.
"Bank yang dipilih untuk menyimpan ONH itu seharusnya dijelaskan, sebab hal itu berpengaruh dalam besaran bunganya. Kami tidak melihat parameter bank itu, kami cuma minta standarisasi kenapa misalnya pilih bank X bukan Y," ujar Yusuf.
Selain itu, kejanggalan lainnya yakni terkait penukaran valuta asing (valas) oleh Kementerian Agama. Menurut Yusuf, ada oknum yang diperintahkan Kemenag untuk membeli valas dalam jumlah besar.
"Kenapa orangnya kok ini terus. Terus waktu beli valasnya kapan, jangan-jangan beli valasnya lebih murah," katanya.
PPATK juga mendapati dana penyelenggaraan haji yang digunakan untuk perbaikan kantor dan juga membeli kendaraan operasional.
"Dalam kementerian dana untuk hal tersebut sudah dianggarkan," ujarnya.
Hasil pemeriksaan terkait pengelolaan dana ibadah haji tersebut telah dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ditindaklanjuti.
"Kami mencium keras adanya penyimpangan dan kami sudah serahkan hasil pemeriksaannya kepada KPK," kata Yusuf.