Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Bedanya dengan mimpi, halusinasi dalam keadaan sadar (tidak tidur) seseorang dapat “melihat” sesuatu, seperti yang dapat dilihat dalam mimpi.
Kalau dalam mimpi mungkin yang dilihat adalah kenyataan yang sesungguhnya dan dipersepsikan seperti dengan kenyataan tersebut, sedangkan halusinasi jelas-jelas berbeda antara persepsi dan yang dipersepsikannya.
Halusinasi tidak bisa dijadikan referensi dalam menentukan apa pun. Karena, jelas merupakan rekaman keliru yang ditangkap dalam pikiran.
Halusinasi juga berbeda dengan interpretasi kenyataan (delusive perception) yang memberikan persepsi tambahan atau berlebihan terhadap sebuah kenyataan. Misalnya, seseorang mendramatisasikannya dengan memberikan pesan atau isyarat hanya lantaran menyaksikan kilat melintas di hadapannya.
Halusinasi bisa memengaruhi pancaindera, seperti sentuhan rasa, suara-suara halus, penciuman, pendengaran. Termasuk, juga apa yang dikenal di dalam psikologi dengan proprioceptive, equilibrioceptive, nociceptive, thermoceptive, dan chronoceptive.
Halusinasi pendengaran dialami oleh orang-orang paranoid skizofrenia, yang sering kali keliru memersepsikan sebuah kenyataan objektif menjadi persepsi subjektif. Pengaruh obat-obatan, seperti narkoba dan alkohol, juga memicu halusinasi. Halusinasi dalam arti umum bisa disebut bentuk lain dari mimpi.
Dalam Islam, angan-angan berlebihan yang bisa melahirkan mimpi-mimpi kosong (ilusi) sangat tercela. Islam juga melarang mempersepsi-negatifkan orang lain atau mendramatisasi kelebihan-kelebihan orang lain. Karena, kesemuanya bisa melahirkan karakter negatif dan gangguan pikiran serta kejiwaan yang tidak dikehendaki.
Mungkin, itu salah satu sebab mengapa konsep qadha dan qadar mendapat tekanan khusus untuk dapat dijelaskan dan dipahami. Sebab, jika salah memahami dan mempersepsikan konsep hidup maka dampaknya bisa lebih jauh.