REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Komisi X DPR, menganggap korupsi dan penyalahgunaan anggaran pendidikan kian marak karena kebijakan otonomi daerah.
"Sangat memprihatinkan, ini terjadi karena kebijakan otonomi di bidang pendidikan itu tidak tepat. Itu kebijakan emosional pascareformasi yang belum siap dilakukan daerah," kata Anggota Komisi X DPR, Dedi Gumelar, saat dihubungi Republika, Kamis (3/1).
Menurut dia, segala kewenangan penggunaan anggaran dipegang oleh daerah masing-masing. Dinas Pendidikan di setiap daerah bertanggungjawab pada kepala daerah masing-masing. Sedangkan kesiapan daerah untuk mengatur, menjalankan, dan mengawasi penyaluran anggaran di bidang pendidikan masih lemah.
"Celah melakukan korupsi itu sangat banyak dan gampang dilakukan. Dana BOS, APBD, atau non-BOS itu kan dikelola langsung oleh daerah," ujar politisi dari PDI Perjuangan itu.
Kebijakan otonomi daerah juga menyebabkan tidak ada pencatatan penyaluran dana pendidikan di Menteri Keuangan. Selain itu, hanya sebagian kecil dana pendidikan yang dikelola langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Artinya, lanjut Dedi, penyelewengan dana pendidikan merupakan tanggungjawab setiap daerah masing-masing. Kepala daerah harus memiliki fungsi kontrol dan ketegasan dalam mengatur alokasi dan pemanfaatan dana pendidikan.
"Korupsi oleh Kepsek itu hanya buntut dari korupsi-korupsi dana pendidikan yang lebih besar. Siapa yang salah, ya harus tanya sama kepala daerah itu," ungkapnya.
Komisi X, menurut Dedi, tidak memiliki hak dan kesempatan untuk mempertanyakan atau mengawasi penggunaan anggaran pendidikan di luar wewenang Kemendikbud. "Kalau begini, kami cuma bisa prihatin aja. Kebijakan otonomi daerah di bidang pendidikan itu yang mesti ditinjau," ungkapnya.