REPUBLIKA.CO.ID, Selama satu pekan di Aleppo, Fujimoto telah mengunjungi semua garis peperangan, antara lain Amariya, Salahedin, Saif al-Dawla, dan Izaa.
Ternyata ini bukan kali pertama Fujimoto menginjakkan kaki di Aleppo. Sebelumnya dia juga sudah pernah berkunjung selama dua pekan di Aleppo pada akhir 2011. Ketika itu ia memanfaatkan visa turis, namun kali ini Fujimoto harus secara sembunyi-sembunyi masuk ke negara itu melalui Turki.
Ya, bahkan Fujimoto mengaku bahwa atasannya tidak mengetahui kalau dia sekarang berada di Suriah. "Saya hanya mengatakan pada mereka bahwa saya berada di Turki untuk liburan. Jika saya mengatakan yang sebenarnya, mereka akan mengatakan kalau saya benar-benar gila," kata dia.
Untuk terbang ke Turki, Fujimoto harus merogoh kocek 2.500 dolar AS. Setiap hari selama di Suriah, dia menghabiskan 25 dolar AS untuk biaya penginapan dan internet.
Itulah sepenggal kisah perjalanan nekat Fujimoto di negeri perang, Suriah. Menarik kita simak sekilas kehidupan pribadi manusia tidak takut mati itu.
Fujimoto ternyata sudah terbiasa hidup dalam kesusahan. Ia sudah lama bercerai dengan istrinya. Kini, ia hanya hidup seorang diri. Saya tidak punya keluarga, tidak punya teman, ataupun pacar. Saya kesepian, ujar Fujimoto.
Namun, yang dikatakannya tidak sepenuhnya benar. Sebenarnya dia mempunyai tiga anak perempuan, tapi Fujimoto tidak pernah menemui mereka selama lima tahun.
Melihat sosok ketiga anak perempuannya itu saja ia tidak pernah. "Bahkan tidak melihat mereka di Facebook ataupun internet, sama sekali tidak pernah. Itu yang membuat saya sangat sedih," kata Fujimoto sambil menghapus air matanya.
Meski tidak pernah bertemu ketiga anaknya, Fujimoto tetap menyiapkan masa depan anak-anaknya dengan mengasuransikan kehidupannya. Tidak lupa, setiap hari ia memanjatkan doa untuk ketiga anak perempuannya itu.
Kepergian Fujimoto ke Suriah juga ternyata dilatarbelakangi kecintaannya terhadap anak-anak. Melihat kondisi Suriah, ia menyebut negara yang dipimpin Presiden Bashar al-Assad itu tidak layak buat anak-anak.
"Saya sangat mencintai anak-anak, namun Suriah bukan tempat untuk mereka. Sebuah bom bisa mengambil nyawa mereka setiap saat," kata Fujimoto.
Apakah pembaca tertarik mengikuti jejak Fujimoto?