Senin 14 Jan 2013 22:45 WIB

Yang Pantas Memandikan Almarhumah (1)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Jenazah (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Jenazah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Suami dinyatakan boleh memandikan jenazah istrinya. Bahkan lebih diutamakan, menurut Mazhab Syafii, karena faktor keintiman mereka berdua.

Jika seseorang meninggal—dalam kondisi normal, di luar syahid, misalnya—maka jenazahnya wajib dimandikan.

Ini merupakan bagian dari prosesi penghormatan terhadap manusia ketika wafat. Rasululullah SAW sangat menekankan urgensi dan kewajiban pemandian jenazah tersebut.

Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul “Al-Mufashal fi Ahkam al-Mar’ati” menjelaskan, hadis Bukhari Muslim dari Ummu Athiyyah menyebutkan, ketika salah seorang putri Rasul wafat, Nabi memerintahkan agar jenazah sang putri dimandikan hingga bersih, sebanyak tiga atau lima kali, bahkan lebih sesuai dengan kebutuhan.

Ini ditegaskan pula dalam hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas. Dalam hadis tersebut Rasul memerintahkan agar jenazah sahabat yang jatuh dari kendaraan segera dimandikan.

Sementara hukum memandikan jenazah bagi mereka yang masih hidup ialah fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang gugur jika telah ditunaikan oleh orang lain.

Lalu, siapa sajakah yang layak memandikan jenazah almarhumah? Masih menurut Prof Zaidan dalam bukunya itu, ada beberapa opsi pandangan ulama terkait masalah ini.

Menurut Mazhab Hanafi, mereka yang paling pantas memandikan almarhumah sebagai sesuai dengan urutannya, yaitu pihak yang tertunjuk di wasiat, ibu almarhumah (hingga orang tua ke atas, seperti nenek dan seterusnya).

Kemudian anak perempuan almarhumah (berikut keturunannya), keluarga terdekat sebagaimana berlaku di hukum warisan; misalnya, saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara tiri, keluarga sedarah seperti saudara tiri, dan terakhir ialah orang lain.

 

Menurut Mazhab yang berafiliasi ke Imam Hanafi itu, opsi yang terakhir, yaitu memandikan jenazah perempuan lebih dikedepankan daripada pelaksanaanya oleh suami sendiri.

Ini dengan alasan, untuk menghindari perbedaan pendapat, terkait boleh tidaknya suami memandikan istrinya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement