REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wasekjen Partai Golkar, Nurul Arifin memandang pemberian sanksi untuk partai politik terkait kuota perempuan memang harus dilakukan. Alasannya, pembinaan dan kaderisasi untuk perempuan di partai masih sangat kurang.
"Dengan keputusan ini diharapkan partai lebih serius membina dan merekrut kader perempuannya. Sehingga hasilnya tidak asal-asalan,'' katanya kepada wartawan, Selasa (15/1).
Pembahasan rancangan Peraturan KPU (PKPU) yang melibatkan pemerintah dan DPR memutuskan untuk pemberian sanksi. Yaitu, bagi partai politik yang tidak mampu memenuhi kuota 30 persen untuk calon anggota legislatif (caleg).
Jika ada partai yang tidak memenuhi kuota 30 persen, maka KPU (Komisi Pemilihan Umum) harus mengembalikan berkas persyaratannya. Hingga terpenuhi syarat keterwakilan perempuan 30 persen.
"Jika tidak juga, maka partai tersebut tidak dapat mengikuti pemilu di dapil terkait," papar anggota Komisi II DPR tersebut.
Keputusan pembahasan itu merujuk kepada undang-undang pasal 59 ayat (1). Bunyi pasal itu yakni, "Dalam hal kelengkapan dokumen persyaratan administrasi bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 tidak terpenuhi, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada partai politik peserta pemilu."
Ketentuan ini diperjelas pada ayat dua. Berbunyi, "Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30 persen (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, maka KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar bakal calon tersebut".
Menurut Nurul, kuota 30 persen untuk perempuan harus dipaksakan sesuai dengan bunyi undang-undang. Jika tidak, maka selamanya politik nasional hanya akan bermain dengan retorika.
"Kasihan kader perempuannya hanya menjadi komoditas politik tanpa niat sungguh-sungguh untuk melibatkan mereka,'' jelas Nurul.