REPUBLIKA.CO.ID, Perang Padri adalah sebuah peperangan antara kaum Padri (ulama) dan kaum adat.
Dalam bukunya, Masoed menulis, banyak harta rampasan dibawa ke Bonjol. Ketika Bonjol dibangun dan terus berkembang, perang saudara tak bisa terelakkan.
Perang saudara itu dikenal sebagai Perang Padri, sebuah peperangan antara kaum Padri (ulama) dan kaum adat.
Seiring berjalannya waktu, perang saudara ini ternyata membawa Belanda ikut terlibat. Pada 1820, Tuanku Imam Bonjol tampil sebagai panglima utama menggantikan Tuanku Nan Renceh yang dipanggil oleh Sang Khalik.
Perlawanan yang dikomandani oleh Tuanku Imam Bonjol mendapatkan simpati dari seluruh masyarakat Minangkabau.
Perang Padri dan Imam Bonjol
Perang Padri menjadi peristiwa bersejarah yang tak bisa dilepaskan dari sosok Tuanku Imam Bonjol. Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Ranah Minang, terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung pada 1803-1838.
Pada awalnya, seperti diulas di laman wikipedia, peperangan ini pecah akibat pertentangan dalam masalah agama. Kala itu, sekelompok ulama yang dijuluki Kaum Padri mengecam kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.
Kebiasaan yang di maksud, antara lain, perjudian, sabung ayam, mengonsumsi minuman keras, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam di kalangan kaum Adat.
Tak mempan dengan kritik itu, kaum Adat tetap pada kebiasaan semula, padahal mereka mengaku sebagai Muslim. Hal ini menimbulkan kemarahan kaum Padri sehingga pecahlah perang saudara itu.
Hingga 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Pada perang ini, kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan, sedangkan kaum Adat dikomandani oleh Yang Dipertuan Pagaruyung, yakni Sultan Arifin Muningsyah.
Pada 1821, kaum Adat yang mulai terdesak meminta bantuan kepada Belanda. Namun, keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan sehingga sejak tahun 1833, kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama kaum Padri.
Saat itu, muncul kesadaran bahwa mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.