Kamis 17 Jan 2013 07:25 WIB

Hakim Dianggap Kurang Pahami Filsafat Hukum

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Citra Listya Rini
Palu Hakim di persidangan (ilustrasi)
Palu Hakim di persidangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim  dinilai kurang memahami filsafat hukum sehingga kerap menghasilkan putusan hukum yang kontroversial. Majelis kasasi dalam perkara pelanggaran nakhoda kapal KMN Bunga Harapan GT 3, La Rusu, misalnya, memvonis perkara perikanan dengan pilihan hukuman kepada terdakwa: mau penjara lima bulan atau denda Rp 5 juta.

Putusan seperti itu dinilai anggota komisi III DPR dari PKS, Aboe Bakar al-Habsyi, sebagai bukti hakim kurang memahami aspek filsafat hukum, sehingga lebih cenderung bersikap positifistik.

"Saya rasa MA perlu melakukan peningkatan kemampuan hakim secara berkala terhadap pemahaman filsafat hukum, sehingga dapat menyegarkan kembali pemahaman mereka dan mendorong hakim mampu melakukan penemuan hukum," kata Aboe Bakar kepada Republika di Jakarta, Kamis (17/1).

Perkara yang dimaksud berkaitan dengan pelanggaran nakhoda kapal KMN Bunga Harapan GT 3, La Rusu. Pria berusia 39 tahun ini memberangkatkan kapalnya tanpa izin syahbandar pada 14 Mei 2010. Aparat hukum setempat mengadili warga Raja Ampat, Papua Barat, ini.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa La Rusu dengan pasal 100B jo pasal 42 3 UU 31/2004 jo UU 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Pada 28 Juli 2010, JPU Kejaksaan Negeri Sorong menuntut La Rusu dengan pidana penjara selama 5 bulan atau denda sebesar Rp 8 juta. Pengadilan Negeri Sorong pada 11 Agustus 2010 mengamini dakwaan JPU dan menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 5 bulan atau denda sebesar Rp 5 juta.

"Memang banyak yang mempertanyakan putusan tersebut, dan menilai ganjil, kenapa terpidana disuruh memilih," ujar  Aboe Bakar. Putusan MA seharusnya melalui proses quality control yang baik. Jangan sampai yang keluar adalah putusan sembarangan, karena ini berkaitan wibawa pengadilan tinggi di Indonesia.

Aboe menjelaskan ada dua analisa terkait putusan ini. Pertama bisa jadi hakim agung ada yang salah baca atau salah tulis. "Saya mendengar memang karena kendala usia ada yang mengalami kesulitan untuk membaca tulisan. Saya memang belum mengklarifikasi informasi tersebut, sebaiknya MA memeriksanya, apakah informasi itu benar adanya," papar Aboe Bakar.

Kemungkinan kedua, hakim mengambil peran hanya sebagai Ia bouche des lois. Hakim hanya sebagai corong undang-undang. Apa yang ada dihadapannya, itu yang diputuskan. Tidak ada upaya untuk menggali nilai atau membuat terobosan hukum.

Menurut Aboe Bakar, jika memang jaksa mengajukan tuntutan yang tidak tepat karena salah dalam memahami UU, hakim seharusnya meluruskan jaksa. Karena Ius curia novit atau hakim dianggap tahu hukum.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement