Jumat 18 Jan 2013 14:26 WIB

Simfoni Kemiskinan di Sekitar Kita

Salah satu potret kemiskinan di ibukota (ilustrasi).
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Salah satu potret kemiskinan di ibukota (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anif Punto Utomo

Tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali kemiskinan. Begitu pandangan apatis dari sebagian orang ketika melihat betapa kemiskinan masih menjerat rakyat Indonesia yang sudah merdeka hampir tujuh dekade.

Kalau saja negara ini miskin sumber daya alam, barangkali bisa dimaklumi ketika masih ada puluhan juta rakyat miskin. Masalahnya, kita negeri yang kaya, bahkan kaya raya. Sebut saja hasil tambang, emas kita punya banyak, batu bara, minyak, gas, nikel, bijih besi, tembaga, bauksit, timah, semua ada, dan tidak sedikit. Ironis.

Semestinya, hasil dari kekayaan alam itu sebagian besar masuk ke kantong pemerintah. Nah, dari kantong itulah nantinya digunakan untuk memberdayakan orang miskin agar terangkat dari kemiskinan. Logikanya begitu. Idealnya juga begitu. Tapi, dengan melihat pengalaman selama ini, meski seluruh hasil tambang masuk ke pemerintah, kemiskinan tetap berdomisili di negeri kita.

Problemnya adalah ketidakmampuan pemerintah membuat program yang mampu mengentaskan kemiskinan. Pada 2012, tersedia dana sebesar Rp 99,2 triliun, tetapi penurunan jumlah penduduk miskin sangat kecil. Itu menunjukkan bahwa strategi pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan keliru. Strategi yang keliru hanya membuat dana besar itu menguap dan sebagian menjadi bencana entah oleh siapa.

Latif Adam, ekonom LIPI, pernah mengadakan penelitian di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Bengkulu tentang keefektifan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM). Hasilnya, program yang digadang-gadang pemerintah itu tidak tepat sasaran. Data memunculkan bahwa yang menikmati PNPM adalah 40 persen penduduk miskin dan 60 persen tidak miskin.

Data tersebut mengonfirmasikan bahwa pemerintah gagal memerangi kemiskinan. Kita lihat data dari 2002 sampai 2012, kemiskinan turun dari 17,9 persen menjadi sekitar 11,9 persen yang berarti sekitar 0,6 persen per tahun. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa untuk pengurangan kemiskinan, Orde Baru lebih baik dibanding orde SBY.

Data menunjukkan bahwa pada zaman Orde Baru antara 1966-1996, pemeirntah mampu menurunkan angka kemiskinan 49 persen atau rata-rata 1,7 per tahun. Persentase pengurangan itu hampir tiga kali lipat dibanding satu dekade terakhir ini. Tak heran kalau kemudian di belakang bak truk ada gambar Soeharto dan kalimat “enak jaman aku to. Enak jaman saya kan?”

Melambatnya penurunan jumlah penduduk miskin salah satunya karena pemerintah tidak mampu mengendalikan harga bahan pokok. Bahwa inflasi tahun lalu hanya 4,3 persen itu betul, tetapi komponen bahan pokok menyumbang 54 persen. Rakyat miskin ini rentan terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok karena 72 persen pengeluaran mereka adalah untuk makanan.

Sebagian besar rakyat miskin memang orang desa, tapi jangan bayangkan bawah mereka petani pemilik lahan. Sebagian besar dari mereka adalah buruh tani sehingga makanan pun harus membeli. Ketika harga makanan melambung, daya beli mereka makin kecil sehingga mereka pun makin terjerat kemiskinan.

Penyebab lain adalah pemerintah lalai membangun sektor pertanian, padahal di sektor ini penduduk miskin banyak bermukim. Sementara, Orde Baru justru menekankan di pemberdayaan pertanian ini, baik lewat bimas (bimbingan masyarakat), inmas (intensifikasi masyarakat), kupedes (kredit umum pedesaan), dan kck (kredit candak kulak).

Cina dan Vietnam merupakan contoh keberhasilan negara dalam mengentaskan kemiskinan. Di Vietnam, dalam kurun 2002-2012, mampu menurunkan kemiskinan 19 persen atau rata-rata 1,9 per tahun. Keberhasilan Vietnam karena mereka, sebagaimana kita Orde Baru, masuk di wilayah pertanian membangkitkan dan memberdayakan petani.

Begitu pula dengan Cina. Data Bank Dunia menunjukkan, pada 2005, penduduk dengan pendapatan di bawah dua dolar per hari mencapai 36,3 persen, jauh berkurang dibanding 1985 yang masih 65 persen. Sementara, Indonesia, pada 2009, persentase penduduk dengan pendapatan sebesar itu masih 50,6 persen.

Pemerintah perlu lebih serius lagi dalam berjuang mengatasi kemiskinan. Tidak ada gunanya pertumbuhan tinggi kalau hanya menciptakan kesenjangan. Tidak ada gunanya penghargaan dan pujian dari luar negeri, sementara rakyatnya sendiri menghujat para pemimpin. Tidak ada gunanya berteriak memberantas kemiskinan ketika simfoni kemiskinan masih merdu terdengar di sekitar kita.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement