REPUBLIKA.CO.ID, PORT AU PRINCE -- Sudut kota Port Au-Prince, tepatnya Delmas Road, begitu berdebu. Di seberangnya, berdiri sebuah bangunan putih sederhana. Di dindingnya, terdapat tulisan berhuruf Arab, "Mosquee Al-Fatihah-Communaute Musulmane d'Haiti.
"Mendekati gedung itu, terlihat sosok tengah menyalami pengunjung. Ia ucapkan "Asalamualaikum". Wajah simpatiknya memperlihatkan senyum yang ramah. Tak jauh dari situ, tepatnya, perempatan Carrfour Feuilles, terdengar suara adzan. Pasar yang tadinya ramai, mendadak sepi.
Mereka yang mendengar suara adzan spontan menuju ke masjid. Melihat situasi itu, tentu mereka yang baru pertama kali datang akan terkejut. Maklum saja, Haiti lebih identik dari kepercayaan Voodoo, satu tradisi yang berasal dari Afrika.
Kendati demikian, ditengah-tengah tradisi itu, komunitas Muslim hadir dengan populasi 4.000-5.000 jiwa. Sekarang ini, banyak Muslim yang hilir mudik di jalanan ibukota. Penampilan mereka begitu khas. Di kalangan pria, ciri khasnya terletak pada janggut tertata rapi dengan kepala ditutupi kopiah.
Di kalangan perempuan, mereka mengenakan pakaian serba tertutup dan berjilbab.Nawoon Marcellus, yang berasal dari Utara San Raphael, baru-baru ini menjadi Muslim pertama yang menjadi anggota parlemen. "Saya kembali ke Haiti pada tahun 1985. Tujuan saya kembali hanya mendakwahkan Islam," kata dia yang kini bernama Abdul Al-Ali.
Abdul menjadi Muslim ketika berada di Kanada menilai masyarakat Haiti perlu dikenalkan jalan kebenaran Islam. Ia akan berusaha keras membawa masyarakat Haiti menuju jalan itu. Haiti merupakan negeri Karibia yang miskin.
Perekonomian yang melesu, malnutrisi yang menimpa penduduknya, dan diperparah dengan sengketa politik yang tidak berkesudahan membuat negara itu terpaksa mengemis meminta bantuan. Tapi itu tidak berlaku bagi umat Islam.
"Jika anda membutuhkan bantuan, apakah pendidikan atau apapun. Maka umat Islam akan senang membantu," komentar Racin Ganga, imam Islamic Center Carrefour Feuilles.
Menurut Racin, umat Islam Haiti merasa terdorong untuk memberikan bantuan kepada siapapun. Meski sebenarnya, mereka juga menjalani kehidupan yang sulit.
Secara terpisah, Yacine Khelladi, ekonom Aljazair yang melakukan survei di Haiti mengatakan Islam merupakan solusi masyarakat Haiti, utamanya dalam menciptakan keadilan sosial. Bahkan dalam kasus sengketa bisnis dan lainnya, Islam memberikan solusi konkret.
Samaki Foussonyi, seorang jamaah masjid Delmas mengatakan Islam memberikan pandangan baru yang mampu mengatasi masalah perbudakan. Itulah yang membuat tokoh anti-perbudakan, Boukman terinspirasi dalam setiap pergerakannya.
"Ia bukanlah seorang penganut Voodoo, tapi ia adalah Muslim," kata dia. Menurut dia, sebutan nama itu muncul karena ia sebenarnya membawa buku yang kemudian diketahui adalah Alquran. "Saya kira banyak kesalahpahaman tentang beliau, termasuk soal tempat ia tinggal yang dikira pusat pemujaan voodoo," kata dia.