REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Petani tembakau se-DIY sepakat untuk tidak membayar pajak daerah, jika pemerintah tetap bersikukuh merealisasikan Perauturan Presiden (PP) nom0r 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Adiktif Tembakau bagi Kesehatan. Penerapan aturan itu dinilai berpotensi mematikan industri dan UKM.
Berdasarkan data Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DIY, saat ini ada sekitar 12.500 orang di tiga kabupaten yakni Gunung Kidul, Sleman, dan Bantul menggantungkan hidup dari sektor pertembakauan. Rata-rata tiap tahun, industri ini menyumbang kontribusi pendapatan daerah sebesar Rp 20 miliar.
Penolakan tersebut diikuti aksi para petani tembakau DIY di halaman gudang tembakau Desa Donoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sabtu (19/1). Selain orasi, mereka juga membakar tumpukan tembakau rajangan, dan poster Menteri serta Wakil Menteri Kesehatan RI sebagai wujud protes.
"Kami akan memboikot pajak sampai ada keputusan untuk mencabut PP tersebut," kata Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) DIY, Gugun el Guyanie dalam orasinya.
Ketua APTI Sleman, Suwarji menyatakan, meski dalam PP tidak disebutkan larangan untuk menanam tembakau, namun pemberlakuan aturan itu akan berdampak luas terhadap bidang ekonomi dan sosial. Karena, beberapa pasal dalam aturan tersebut, dinilai sangat merugikan petani dan pelaku usaha tembakau.
Salah satunya aturan menyangkut yakni, aturan penyelenggaraan pengamanan produk tembakau. Dalam Pasal 8 dia menyebutkan, penyelenggaraan itu meliputi produksi, impor, peredaran, perlindungan khusus bagi anak-anak dan perempuan hamil, serta kawasan tanpa rokok (KTR).
Aturan mengenai KTR inilah yang dianggap menyimpang. Pasalnya, UU Kesehatan sebagai payung hukum PP no 109/2012, tidak menyarankan adanya pembentukan kawasan tanpa rokok. Belum lagi, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman, saat ini, tengah membahas raperda KTR.
"Kami menolak adanya KTR, dan kalau pembahasan tetap dilanjutkan, kami akan datangi kantor dewan untuk minta penjelasan," kata Suwarji.