REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tingkat kesejahteraan hakim ad hoc melonjak drastis setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) 5/2013.
Perpres tentang Pemberian Hak Keuangan dan Fasilitas bagi Hakim Ad Hoc itu dapat dinikmati hakim ad hoc di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan Pengadilan Perikanan. Lahirnya aturan itu sekaligus membatalkan tiga Perpres sebelumnya.
Ketiga Perpres itu adalah Perpres 86/2010 tentang Uang Kehormatan Bagi Hakim pada Pengadilan Tipikor, Perpres 20/202011 tentang Tunjangan dan Hak-Hak Lainnya bagi Hakim Ad Hoc di PHI, dan Perpres 87/2010 tentang Uang Kehormatan dan Hak-Hak Lainnya bagi Hakim Ad Hoc di Pengadilan Perikanan.
Pasal 2 Perpres 5/2013, mencakup tunjangan dan fasilitas rumah negara, transportasi, jaminan kesehatan, biaya perjalanan dinas, dan uang penghargaan. Semua hak itu diterima setiap bulan. Sampai masa kerja setahun, hakim ad hoc menerima 0,2 kali uang penghargaan. Lebih dari 1–2 tahun, menerima 0,4 kali uang penghargaan.
Masa jabatan lebih 2-3 tahun, menerima 0,6 kali uang penghargaan. Masa jabatan 3-4 tahun, mendapatkan 0,8 kali uang penghargaan. Melebihi 4 tahun dan kurang 5 tahun memperoleh uang penghargaan penuh.
Di Pengadilan Tipikor tingkat pertama, mereka mendapat total tunjangan Rp 20,5 juta, di tingkat banding meraih Rp 25 juta, dan tingkat kasasi mendapat Rp 40 juta. Di PHI, hakim ad hoc tingkat pertama membawa pulang Rp 17,5 juta dan tingkat kasasi Rp 32,5 juta. Sementara itu, di Pengadilan Perikanan besaran yang diterima hakim sebesar Rp 17,5 juta.
Kepala Bagian Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, mengatakan hak para hakim ad hoc itu diberikan sejak mereka dilantik. Untuk yang sudah dilantik sebelum Perpres berlaku, kata dia, mereka diberikan hak terhitung sejak Perpres berlaku. Ia menjelaskan, meningkatnya gaji hakim ad hoc diharap bisa meningkatkan profesionalitas dan integritas pengadil.
“Ini juga menjadikan peristiwa hakim yang telah berbuat tidak profesional sebagai pelajaran untuk menuju peradilan bersih dan bermartabat,” katanya akhir pekan lalu.
Juru Bicara Komisi Yudisial Asep Rahmat Fajar mengharapkan kinerja hakim ad hoc bisa meningkat dengan dipenuhinya tuntutan mereka oleh pemerintah. Pasalnya, KY ikut memperjuangkan tuntutan hakim dalam tim kecil lintas lembaga negara hingga terlibat dalam pembentukan draft Perpres.
Kalau tingkat kesejahteraan sudah mencukupi, pihaknya meminta sang pengadil untuk bisa bekerja secara profesional dan tidak berbuat sesuatu yang bisa mencoreng institusi kehakiman. “KY ingin hakim bisa bekerja lebih baik lantaran kesejahteraannya sudah terpenuhi,” pesan Asep.
Salah satu hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Jakarta, I Made Hendra, menyambut baik keluarnya Perpres 5/2013. Meski begitu, ia mengaku belum ada sosialiasi dari lembaga berwenang terkait aturan itu. “Pasti bersyukur, karena ada perhatian dari pemerintah kepada kami,” katanya.
Menurut Made, adanya tunjangan kesehatan yang diberikan pemerintah sangat penting bagi hakim. Pasalnya, selama bertugas menjadi hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, seringkali harus pulang malam untuk menyelesaikan perkara.
“Yang paling penting itu tunjangan kesehatan, karena saya pernah beberapa kali diopname menggunakan uang sendiri,” katanya.