REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Indonesia Budget center (IBC) melakukan riset dalam pemilihan kepala daerah (pemilukada) di lima provinsi di Pulau Jawa yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hasil riset tersebut, anggaran untuk dana Hibah dan Bantuan Sosial (Bansos) rawan diselewengkan untuk kepentingan calon incumbent dalam pemilukada.
“Dari pemilukada yang sudah dilakukan di Banten dan Jakarta, kini dugaan penyalahgunaan dana Bansos dan Hibah dalam anggaran akan terjadi dalam pemilukada di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur,” kata peneliti IBC, Roy Salam dalam jumpa pers di kantor ICW, Jakarta, Ahad (20/1).
Roy Salam menjelaskan adanya fenomena korupsi politik dengan pembajakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kerap dilakukan calon kepala daerah incumbent di setiap pemilukada di daerah. Hal ini bisa dilihat dari membengkaknya pengalokasian anggaran dari pos dana Bansos dan Hibah menjelang pemilukada seperti yang terjadi di lima daerah di Pulau Jawa tersebut.
Menurutnya sudah tampak jelas adanya hubungan antara pengalokasian anggaran dengan kecenderungan keterpilihan incumbent. Dalam beberapa risetnya, ia menyontohkan dalam pemilukada DKI Jakarta, dana Bansos dan Hibah diberikan kepada organisasi massa (ormas) atau kelompok yang berkaitan dengan partai politik yang mengusung dan yang memberikan dukungan secara pribadi kepada calon incumbent.
Sedangkan fenomena ini seperti kembali berulang di tiga daerah yang akan melaksanakan pemilukada pada awal tahun ini yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kenaikan anggaran dana Bansos dan Hibah yang luar biasa, lanjutnya, menunjukkan pola ini masih menjadi tren yang digunakan calon incumbent dalam melakukan korupsi politik dalam pemilukada.
Ia memaparkan dalam APBD Pemprov Jabar, dana Bansos mengalami kenaikan dari Rp 2,128 triliun pada 2011 menjadi Rp 2,938 triliun pada 2013. Bahkan dana Hibah membengkak 10 kali lipat dari Rp 120,6 miliar pada 2009 menjadi Rp 1,2 triliun pada RAPBD 2013.
Hal yang sama juga terjadi dalam APBD Pemprov Jateng, dana hibah dari Rp 107 miliar pada 2011 menjadi Rp 4 triliun pada 2013. Sedangkan dana Bansos dari Rp 396 miliar pada 2009 membengkak jadi Rp 9,4 triliun dalam RAPBD 2013.
Pada APBD Pemprov Jatim, dana hibah juga mengalami pembengkakan sebesar delapan kali lipat yaitu dari Rp 541 miliar pada 2009 menjadi Rp 4,09 triliun dalam RAPBD 2013.
Selain itu, ia melanjutkan, permasalahan dalam distribusi dana Bansos dan Hibah ini karena tidak bisa diverifikasi. Penerima dana ini tidak jelas dan menjadi kewenangan Gubernur yang bersangkutan. Sehingga praktik-praktik korupsi politik masih dapat dilakukan gubernur yang menjadi calon incumbent.
“Dana Bansos dan Hibah sulit untuk diakses masyarakat. Sulit kalau untuk mengetahui siapa-siapa penerima dana hibah, ini disimpan informasinya. Makanya dalam audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), pengelolaan dana-dana ini selalu bermasalah,” jelasnya.
Sementara itu, peneliti ICW, Apung Widadi menyoroti peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang sudah mulai harus memperhatikan penyalahgunaan dana Bansos dan Hibah dalam pemilukada. Menurutnya hal ini belum diperhatikan dan belum adanya regulasi yang tegas baik dari KPU maupun dari Menteri Dalam Negeri.
Bahkan ia mendorong agar Mendagri mengeluarkan Peraturan Mendagri (Permendagri) khusus untuk mengatur permasalahan tersebut. Sedangkan KPU harus berani mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) untuk tidak menggelontorkan dana Hibah dan Bansos pada awal tahun ini.
“Karena aneh juga kalau dana-dana itu akan dicairkan pada bulan ini. KPU harus berani mendesak Pemda yang akan melakukan pemilukada agar dana ini dicairkan setelah pemilukada,” tegas Apung.