Senin 21 Jan 2013 16:36 WIB

Menghormati Pemimpin

Shalat berjamaah siswa MAN Insan Cendekia, Serpong, Tangerang Selatan, Banten.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supri
Shalat berjamaah siswa MAN Insan Cendekia, Serpong, Tangerang Selatan, Banten. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr Imam Suprayogo

Setiap komunitas selalu membutuhkan seorang pemimpin. Islam juga mengajarkan yang demikian itu, pemimpin harus ada.

Bahkan dalam kegiatan ritual sekalipun, seperti shalat bersama-sama, harus ditunjuk salah seorang di antaranya  menjadi imam atau pemimpinnya.

Masyarakat yang ideal, manakala memiliki seorang pemimpin yang ditaati, dicintai, dan dihormati. Namun tentu,  perlakuan terhadap pemimpin seperti itu, manakala pemimpinnya mampu berbuat baik, adil, dan jujur terhadap mereka  yang dipimpinnya.

Suasana seperti itu akan melahirkan saling kasih mengasihi antara mereka yang dipimpin dan yang  memimpin.

Tali hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, agar menjadi tetap kokoh, seharusnya berupa kasih sayang.  Hubungan kasih sayang tidak akan ada yang mengalahkannya.

Kasih sayang akan melahirkan ketaatan, penghormatan, dan  bahkan juga kesediaan untuk berkorban di antara sesamanya.

Dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, pemimpin dipilih langsung oleh mereka yang dpimpinnya. Dengan demikian  mestinya para pemimpin adalah orang yang paling dicintai, ditaati, dan dihormati oleh mereka yang memilihnya.

Dalam  memilih sesuatu, tidak terkecuali memilih pemimpin, seharusnya mengambil yang terbaik.

Atas dasar proses demokrasi seperti itu, semestinya tidak ada alasan untuk tidak mencintai, menaati, dan menghormati  pemimpinnya sendiri.

Namun sayang sekali, suasana ideal itu tidak selalu terjadi. Pemimpin yang semula dipilihnya sendiri, ternyata tidak  ditaati dan bahkan ditinggalkan.

Pemimpin yang bersangkutan dianggap tidak jujur dan tidak adil. Bukankah semestinya  tatkala memilihnya, telah menyadari bahwa pemimpin itu sebenarnya adalah orang biasa.

Statusnya sebagai manusia biasa, maka tatkala menjadi pemimpin sekalipun tidak pernah luput dari kekurangan dan  kesalahan. Manusia selalu disebut sebagai //mahallul khotho  wannis-yan// tempatnya salah dan lupa.

Mencari pemimpin  yang tidak memiliki kesalahan, tak akan pernah  mendapatkannya. Sebab semua orang, --kecuali  rasul yang maksum, selalu memiliki sifat lupa dan salah itu.

Pemimpin, siapapun orangnya, seharusnya diterima secara utuh, baik tatkala sedang melakukan kebenaran maupun tatkala  sedang melakukan kesalahan. Apalagi, kesalahannya itu misalnya, tidak disengaja atau tidak dikehaui olehnya.

Sebagai  orang yang sedang dipimpin, manakala pemimpinnya melakukan kesalahan, harus mengingatkan. Membiarkan pemimpinnya  melakukan kesalahan, merupakan kesalahan. Bahkan, dalam shalat sekalipun, ketika imamnya salah, makmum harus  mengingatkannya.

Siapapun yang salah seharusnya diingatkan dan bukan dihukum. Sebab betapa banyak orang yang akan masuk penjara,  manakala setiap orang yang salah harus dipenjara, sementara kesalahan itu sebenarnya adalah milik semua.

Kesalahan  semestinya tidak selalu harus dibalas dengan hukuman, tidak terkecuali kesalahan seorang pemimpin. Pemimpin harus  dihormati, apalagi posisinya diperoleh dari proses yang benar, yaitu lewat pilihan dengan cara-cara yang telah  disepakati bersama. Wallahu a lam.

n

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement