REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Afriza Hanifa
Bagi penggemar drama Korea Selatan (Korsel), tentu tahu betul keindahan Pulau Jeju. Sebut saja “Secret Garden”, “Boys Over Flowers”, “Princess Hours”, dan drama terkenal lain yang memanfaatkan keindahan Pulau Jeju sebagai latar cerita. Hamparan bunga kuning di tepi pantai merupakan salah satu scene indah dari pulau di ujung semenanjung Korea tersebut. Tak heran jika Jeju disebut Bali-nya Korea dan masuk daftar New Seven Wonder.
Yang tak kalah menakjubkan, keindahan Islam pun bersemi di Jeju atau dalam bahasa Korea bernama Jeju-do atau Jeju Teukbyeol Jachido. Di pulau terbesar di Korea Selatan ini terdapat sekitar 750 Muslim. Sebagian besar dari mereka merupakan pendatang dari negara-negara Islam, seperti Indonesia, Bangladesh, Pakistan. Selain itu, Jeju juga sebagai lokasi wisata yang dikunjungi sekitar 60 ribu pelancong Muslim tiap tahunnya.
Menilik jumlahnya, Muslim di Jeju memang merupakan kelompok minoritas. Pulau berpenduduk 560 ribu jiwa tersebut didominasi oleh penganut paham Shamanisme, Buddhisme, serta Kristen. Menurut Direktur Federasi Muslim Korea (KMF) Prof Kim Dae Young, Muslim yang tinggal di Jeju sebagian besar bekerja dalam ranah 3D, yakni dirty (kotor), dangerous (bahaya), dan difficult (sulit). Sebagian mereka, sekitar 450 orang, merupakan nelayan asal Indonesia. Sebagian lain bekerja di pabrik. Terdapat pula sekitar 40 mahasiswa Muslim yang belajar di Universitas Nasional Jeju.
Mengingat jumlah Muslim yang masih sedikit di Jeju, Islam pun masih terdengar asing di telinga warga asli pulau ini. Pasalnya, syiar Islam jarang terdengar ataupun disaksikan masyarakat umum. “Akibatnya, Pemerintah Korsel pun tak memperhatikan kebutuhan mereka, seperti masjid, makanan halal, ataupun budaya Islam,” ujar Kim yang merupakan warga Korsel kelahiran Jeju, seperti dilansir The Jeju Weekly.
Secara historis, Jeju merupakan pulau yang terisolasi dari dunia luar. Pulau seluas 1,8 juta kilometer persegi tersebut merupakan lokasi pembuangan dan pengasingan narapidana pada era Dinasti Joseon (1392-1910). Pada abad ke-17, warga Jeju pun dilarang keluar dari lingkaran pulau. Kondisi ini berlangsung selama 200 tahun sebelum aturan dihapuskan pada abad ke-19. Tak heran jika Pulau Jeju sangat minim budaya. Kontak dengan budaya asing baru terjadi ketika pulau ini berada di bawah pengawasan militer AS pascapenjajahan Jepang.
Menurut Kim, sistem pendidikan modern dan lembaga pendidikan, baik sekolah maupun perguruan tinggi, di Jeju didirikan oleh misionaris Kristen. Tak ada pengaruh Islam dalam pembangunan pendidikan di Korsel. Akibatnya, Islam tak dikenal. Kalaupun ada yang kenal, biasanya melihatnya dalam sudut pandang Kristen.
“Kami warga Korea belajar dari gaya pendidikan Barat. Kami belajar sejarah dunia dari sudut pandang Kristiani. Jadi, kami memiliki banyak kesalahpahaman,” tutur Kim yang mengubah namanya menjadi Kim Bashir setelah memeluk Islam.
Islam baru masuk ke Pulau Jeju pada 1970-an. Saat itu, banyak perusahaan Korea yang membuka cabang di Timur Tengah sehingga banyak pekerja asal Jeju yang pergi ke Arab Saudi dan negara Islam lainnya. Sejak itulah, banyak dari mereka yang memeluk agama Islam.
Meski Islam baru masuk ke Jeju pada sekitar 1970, sejatinya agama Allah ini telah sejak lama hadir di Korea. Tanah Korea telah berinteraksi dengan Islam sejak abad ketujuh Masehi melalui pedagang yang menjalin hubungan dengan Kerajaan Silla, salah satu dari tiga kerajaan besar Korea saat itu. Meski merupakan bagian dari Korsel, Jeju baru mengenal Islam 12 abad kemudian. Penyebabnya, tak lain kebijakan isolasi yang diterapkan di pulau vulkanik tersebut. (bersambung)