REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA---Pakar dari ITS Surabaya Dr Amien Widodo menilai rencana Gubernur DKI Jakarta Jokowi untuk membangun Terowongan Multiguna bukan solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta.
"Rencana itu akan sia-sia, karena faktor penyebab utama tidak diatasi yakni sedimentasi dan perilaku buang sampah masyarakat, bahkan terowongan itu bisa jadi akan memunculkan masalah baru," kata Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITS itu.
Ia mengemukakan hal itu ketika dimintai pendapat tentang solusi untuk mengatasi banjir di wilayah Jakarta yang terjadi sejak 15 Januari 2013 dan hingga 23 Januari menyebabkan 20 orang meninggal dunia dan 45.954 jiwa mengungsi, meski banjir sudah mulai surut.
Menurut Amien Widodo, ada pelajaran yang baik dari banjir Jakarta yang berulang-ulang, tapi penyelesaiannya selalu tidak sampai ke penyebab masalah.
Faktor hujan memang tidak bisa dihindari karena saat ini memang musim hujan dan bulan Januari-Februari memang puncaknya, sehingga yang harus diperhatikan bagaimana kondisi tata ruang dan masyarakatnya.
"Berdasarkan hasil pengamatan, sedikitnya ada beberapa masalah utama terkait perilaku (buruk) masyarakat, yaitu terjadinya perubahan tata guna lahan di kawasan resapan air di kawasan Puncak Gunung Pangrango, yang awalnya hutan tapi akhirnya diubah menjadi kawasan terbangun," katanya.
Hal itu menyebabkan air hujan tidak ada yang meresap, tapi semuanya mengalir menjadi air banjir yang akan mengerosi tanah dan mengendapkannya ke sungai sehingga sungai akan dangkal.
"Masalah yang lain banyaknya penduduk bermukim di bantaran sungai akibatnya lebar sungai akan terus menyempit," katanya.
Demikian pula dengan masalah perilaku buang sampah sembarangan, termasuk ke Kali Ciliwung seperti sampah kasur, sofa, lemari, bantal, plastik, dan sebagainya.
Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi masalah adalah mengatasi bagaimana air hujan yang turun bisa meresap dan tidak langsung mengalir sambil membawa tanah serta diendapkan di sepanjang sungai.
"Lalu, bagaimana masyarakat tidak bermukim di tepi sungai dan membuat dimensi sungai mengecil serta bagaimana permukaan sungai tidak ada sampah," katanya.
Namun, katanya, solusi itu tidak mudah, karena masyarakat yang berperilaku buruk itu terdiri dari para pejabat sampai masyarakat, dari konglomerat sampai yang melarat, baik yang "educated" maupun yang "uneducated" sama-sama melakukan semuanya dengan sadar.
"Andai kawasan resapan hanya dijadikan hutan maka erosi dan sedimentasi sungai tidak akan terjadi sehingga (proyek) pengerukan tidak perlu dilakukan. Andai dilakukan edukasi tentang pembuangan sampah maka pembersihan sampah tidak perlu dilakukan. Itu harus tegas," katanya.
Ia menambahkan banjir Jakarta juga penting untuk pembelajaran bagi daerah aliran sungai (DAS) besar lainnya di Indonesia, kalau mereka membiarkan kejadian yang sama seperti Jakarta maka mereka akan bermasalah dengan banjir terus-menerus.
"Misalnya, Provinsi Jawa Timur mempunyai banyak DAS besar yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan DAS Kali Ciliwung seperti DAS Bengawan Solo, DAS Brantas, DAS Sampean, dan sebagainya. Pemerintah harus memperhatikan kawasan resapan untuk vila, permukiman di dalam tanggul, dan buang sampah sembarangan. Pemerintah harus tegas," katanya.