REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peradilan desa dianggap sebagai solusi dari menumpuknya perkara yang ditangani Mahkamah Agung. Mulai dari tingkat kasasi hingga peninjauan kembali (PK).
"Peradilan desa sebagai pembatasan upaya hukum agar tidak semua kasus berakhir ke MA," kata Hakim agung Supandi, Kamis 24/1).
Menurutnya, penumpukan terjadi karena banyak perkara sepele yang ditangani lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu.
Pada 2012, dari 12.244 perkara yang masuk, hanya 9.504 perkara yang mampu ditangani. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 11.761 perkara.
"Sayangnya, DPR belum merespon dan kami telah berjuang lama untuk menghidupkan peradilan adat yang bersifat restoratif justice," papar dia.
Ini semakin diperparah dengan semakin banyaknya hakim agung yang pensiun. Serta sifat MA yang tidak bisa menolak perkara, meskipun sifatnya remeh.
Harusnya, tidak semua perkara diselesaikan di tingkat pengadilan. Untuk kasus-kasus kecil, seharusnya bisa diselesaikan secara musyawarah di tingkat masyarakat.
Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Asep Rahmat Fajar mendukung realisasi peradilan desa untuk mengurangi beban kerja hakim agung. Dengan begitu, nantinya MA bisa meningkatkan kinerjanya dalam menangani perkara lain yang menyita perhatian publik.
Sehingga setiap hakim agung tidak dikejar target penyelesaian perkara yang membutuhkan telaah lebih tajam dan ketelitian.