REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta hanya menghukum terdakwa kasus korupsi di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), selama 4,5 tahun serta denda sebesar Rp 250 juta. Putusan itu dinilai tidak layak dan menunjukkan rendahnya kapasitas hakim Pengadilan Tipikor.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Febridiansyah, melihat kapasitas Angelina Sondakh sebagai anggota DPR, perbuatannya menggiring sejumlah proyek dan sejumlah uang yang diterimanya, tapi tidak disita oleh negara. Menurutnya, hukuman tersebut sangat ringan.
Berangkat dari kondisi itu, maka harus ada evaluasi dari putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor. Dari data yang diperoleh, ada dua catatan yang mengkhawatirkan dalam putusan tersebut, yaitu penggunaan pasal 11 UU Tipikor oleh hakim, padahal dari fakta-fakta persidangan yang diyakini terbukti oleh hakim, seharusnya unsur-unsur perbuatan pidana pada Pasal 12 huruf a UU Tipikor bisa diterapkan dalam kasus ini.
Kedua, kata dia, terjadi pelanggaran undang-undang hakim ad hoc Pengadilan Tipikor dalam memahami undang-undang Tipikor oleh hakim. Hal ini dilihat dari penolakan menggunakan Pasal 18 UU Tipikor untuk kepentingan perampasan aset terhadap terdakwa.
“Minimnya pemahaman hakim ad hoc Tipikor dalam memahami undang-undang anti korupsi dan semangat yang terkandung di dalamnya tentu saja menjadi salah satu permasalahan yang serius bagi upaya pemberantasan korupsi ke depan. Kami yakin ini terkait dengan kapasitas yang dimiliki hakim-hakim tersebut,” kata Febri saat beraudiensi dengan pimpinan Komisi Yudisial (KY), di Jakarta, Senin (28/1).
Melihat hal tersebut, lanjut Febri, KY sebagai salah satu lembaga yang hadir dari reformasi, berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas hakim yang memeriksa perkara Angelina. Kewajiban KY meningkatkan kapasitas hakim tersebut, secara eksplisit tercantum dalam Pasal 20 ayat (2) UU/18/2011 tentang Perubahan atas UU/22/2004 tentang Komisi Yudisial.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua KY, Suparman Marzuki, mengatakan pihaknya sudah meminta salinan putusan Angelina tersebut untuk dipelajari. Ia mengakui, tidak sedikit putusan hakim Pengadilan Tipikir dilatarbelakangi oleh keterbatasan dan kemampuan para hakim. “Karena itu, ke depannya kita fokus untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan kapasitas hakim Tipikor,” kata Suparman.