Senin 28 Jan 2013 20:59 WIB

Puluhan PKL Benhil Nantikan Janji Jokowi

Rep: Halimatus Sadiyah/ Red: Citra Listya Rini
Pedagang kaki lima, ilustrasi
Pedagang kaki lima, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puluhan Pedagang Kaki Lama (PKL) memenuhi jembatan penyeberangan di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, setiap harinya. Meski jembatan merupakan tempat terlarang bagi PKL, namun praktek jual beli di tempat ini tetap subur.

Berdasarkan pantauan di lokasi, tidak kurang dari 30 PKL menggelar dagangannya di lokasi ini. Berbagai barang dijajakan, mulai dari kaos kaki, aksesoris ponsel, hingga buku bacaan. PKL di tempat ini tidak menggunakan meja, mereka menata dagangan di atas selembar terpal plastik di sisi jembatan.

Di jembatan ini, nyaris tidak ada tempat kosong yang tidak dijadikan lapak dagangan PKL. Mereka menghabiskan separuh badan jembatan yang sebenarnya milik pejalan kaki.  

Adi (22 tahun), salah satu PKL di kawasan ini mengatakan ia tidak punya pilihan lain kecuali berdagang di jembatan. "Terpaksa, habis tidak punya pekerjaan lain," kata pria yang berjualan kalung dan bros ini, Senin (28/1).

Hal serupa juga diungkapkan PKL lainnya. Bambang (40 tahun), mengaku terpaksa berdagang di tempat yang dilarang karena kepepet. "Kita pedagang bukannya enggak mengerti hukum, kita tahu enggak boleh, tapi kepepet karena enggak ada kerjaan lain, sementara anak istri butuh makan," ujar pria yang berjualan kaos kaki ini.

Namun, berdagang di jembatan juga bukan pilihan yang nyaman bagi PKL liar seperti Bambang dan Adi. Setiap saat mereka dihantui perasaan was was bila sewaktu-waktu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) datang merazia. "Kalau ada razia saya langsung lari," tambah Bambang.

Ia kemudian menceritakan pengalamannya ketika terkena razia. Barang dagangannya disita Satpol PP. Ia harus menebus Rp 300 ribu. Meski demikian ia mengaku tidak kapok. "Mau dirazia sepuluh kali pun saya akan balik lagi kesini," katanya.

Tidak adanya biaya sewa untuk berdagang di jembatan menjadi alasan utama bagi Bambang bertahan, meski tempatnya adalah kawasan yang dilarang. Sekali berdagang, menurut Bambang, ia hanya perlu membayar uang ketertiban Rp 2.000 kepada seorang oknum yang ia sebut sebagai "orang Kamtib." Sementara bila ia menyewa kios jelas biayanya jauh lebih mahal.

Menurut Bambang, pemerintahlah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap nasib para PKL seperti dirinya. "Kalau pemerintah mencarikan solusi yang bagus pasti enggak akan ada lagi yang jualan di jembatan," tambahnya.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi di awal kepemimpinannya pernah berjanji akan menata PKL. Mantan walikota Solo ini  berencana memindahkan PKL ke tempat yang lebih layak.

Terkait rencana pemerintah yang akan merelokasi PKL tersebut, Bambang mengaku senang. Ia berharap Jokowi segera merealisasikan janjinya untuk memberikan PKL tempat berdagang yang layak. "Kalau saya sih soal tempatnya dimana saja,  yang penting menghasilkan," tutupnya penuh harap.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement