REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur akan menggunakan sistem pemilihan baru dalam Konferensi Wilayah PWNU Jatim pada Mei mendatang guna menangkal politik uang, yakni dengan "ahlil halli wal aqdy" (AHWA).
"Itu sistem lama yang pernah digunakan NU di masa lalu dan terakhir digunakan pada Muktamar Situbondo (1984), tapi pola 'ahlil halli wal aqdy' (pemilik hak veto) itu akan kami padukan dengan sistem demokrasi," kata Sekretaris PWNU Jatim HM Masyhudi Muchtar kepada ANTARA di Surabaya, Rabu.
Ketika mendampingi Syuriah PWNU Jatim KH Nuruddin A Rahman, ia menjelaskan dengan sistem AHWA yang disempurnakan demokrasi maka setiap cabang diminta usulan tiga nama calon rais syuriah (legislatif) dan tiga nama calon ketua tanfidziah (eksekutif).
"Usulan nama-nama calon itu harus disepakati melalui rapat lengkap pengurus cabang setempat dan nama-nama calon itu sudah harus masuk ke PWNU Jatim sekitar seminggu menjelang Konferwil NU untuk ditabulasikan sesuai peringkat," katanya.
Hasil tabulasi itu, katanya, akan diumumkan secara terbuka di hadapan peserta konferwil. "Nama-nama itu akan diambil sembilan peringkat teratas untuk syuriah dan sembilan teratas untuk tanfidziah, lalu sembilan nama yang disebut 'ahlil halli wal aqdy' itu akan melakukan musyawarah," katanya.
Namun, katanya, musyawarah yang akan menentukan Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziah beserta jajarannya itu akan dipandu pimpinan PBNU. "Target kami dengan sistem baru adalah mengembalikan NU kepada ulama karena namanya Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama)," katanya.
Target yang tidak kalah pentingnya adalah sistem baru yang merupakan hasil penyempurnaan pola lama dengan pola baru itu adalah menangkal "riswah" atau suap yang sering disebut dengan "money politics" (politik uang) dan juga menangkal intervensi eksternal berupa calon dadakan atau calon bayaran.
"Dalam rapat pleno PWNU Jatim pada Selasa (29/1) itu, tim menerima banyak usulan penyempurnaan, karena itu sistem baru itu akan terus kami sempurnakan hingga diterapkan dalam Konferwil NU Jatim pada Mei mendatang di Sidoarjo," kata mantan pegiat IPNU Jatim itu.
Senada dengan itu, Syuriah PWNU Jatim KH Nuruddin A Rahman mengatakan PWNU Jatim sebenarnya sudah lama merancang hal itu, namun pihaknya ingin prosesnya berjalan konstitusional, karena itu PWNU Jatim berusaha mengusulkan aturan yang memungkinkan untuk itu dalam Muktamar Makassar.
"Jadi, sistem baru itu sudah memiliki cantolan konstitusi, karena peserta Muktamar Makassar sudah mengakomodasi bahwa pimpinan NU dapat dipilih langsung dan melalui kesepakatan bersama. Dari aturan itulah, kami merumuskan AHWA yang dipadukan dengan sistem demokrasi," katanya.
Ia menambahkan sistem baru yang diharapkan akan mampu menangkal "riswah" dan intervensi eksternal itu akan dicoba dalam Konferwil PWNU Jatim di Tulangan, Sidoarjo, pada Mei mendatang. "Nantinya, sistem baru itu diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain," katanya.