REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -— Penahanan terhadap Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) LHI, memperoleh tanggapan dari Pakar Hukum dan Pemerintahan Universitas Parahyangan (Unpar), Asep Warlan.
Menurut Asep, berdasarkan peraturan undang-undang yang ada, seseorang dijadikan tersangka karena didukung minimal oleh dua alat bukti. Misalnya, keterangan ahli, pengakuan tersangka atau keterangan saksi.
‘’Nah, LHI sudah memenuhi dua alat bukti tersebut makanya KPK menetapkan dia sebagai tersangka,’’ ujar Asep kepada Republika Online, Ahad (3/2).
Asep menjelaskan, setelah benar-benar terbukti maka akan ada pendalaman sumber-sumber lain untuk mengklarifikasi sebelum diberikan ke penuntut. Unsur subyektifitas, hanya ada saat penentuan penahanan. Karena, seorang tersangka bisa ditahan dengan melihat tiga hal. Yakni, dikhawatirkan menghilangkan atau menghancurkan alat bukti, melakukan kejahatan dan melarikan diri.
‘’Untuk menentukan ditahan atau tidak, memang ada unsur subyektivitas dari KPK untuk membuat keputusan ditahan atau tidaknya,’’ papar Asep.
Asep menilai, keputusan KPK untuk menahan LHI, kemungkinan besar karena khawatir menghilangkan barang bukti atau mempengaruhi saksi. Karena, LHI sebagai pemimpin partai politik memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat.
‘’Penentuan penahanan, boleh jadi ada unsur subjektivitasnya karena memang tidak objektif 100 persen. Tapi, subeyektifnya bisa juga untuk menunjukkan semua dimata hukum sama,’’ tegas Asep.
Namun, sambung dia, terlepas dari itu semua sebenarnya untuk melihat penahanan tersebut sudah sesuai atau tidak bisa diuji. Yakni, melalui pra peradilan. Tersangka, bisa mengajukan praperadilan untuk melihat penahanan tersebut sudah sah atau tidak. Tapi, praperadilan tersebut tidak masuk ke ranah kasusnya sendiri.
‘’Tidak ada satu pun aspek hokum yang bisa mempersoalkan subjektivitas kecuali praperadilan,’’ katanya.
Menurut Asep, kasus LHI termasuk kasus yang cukup besar jadi langsung ditangani oleh KPK. Karena, syarat kasus bisa ditangani oleh KPK ada tiga. Yakni, dana yang dikorupsi minimal Rp 1 miliar, yang melakukan korupsi penyelenggara Negara dan mendapat perhatian publik yang luas.
‘’LHI, sudah memenuhi tiga kriteria itu,’’ imbuhnya.
Menanggapi soal konspirasi, Asep mengatakan, dari dulu orang partai politik setiap menghadapi kasus korupsi selalu mengatakan ada konspirasi, ada yang memfitnah dan lain-lain. Namun, hal tersebut belum pernah ada yang terbukti.
‘’Parpol biasa mengatakan itu sebagai tameng untuk menghindari cercaan publik. Papol tidak cukup legowo dan sportif jadi mengalihkan masalah tersebut,’’ kata Asep.