Senin 04 Feb 2013 13:45 WIB

Sejumlah Tokoh Kembali Garap Otsus Bali

Rep: Ahmad Baraas/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Menari merupakan salah satu budaya dan tradisi yang mengakar di masyarakat Bali (ilustrasi).
Foto: ANTARA/Pey Hardi Subiantoro
Menari merupakan salah satu budaya dan tradisi yang mengakar di masyarakat Bali (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR – Sejumlah tokoh Bali yang terdiri dari aktivis Bali Corruption Watch (BCW), mengadakan diskusi terbatas dengan mengangkat isu otonomi khusus (otsus) Bali.

Isu otsus telah beberapa kali dibahas, namun kali ini yang pertama kali dibahas setelah tertidur lebih dari delapan tahun.

Acara yang berlangsung di Hotel Inna Bali Denpasar, Senin (4/2), dihadiri anggota DPD asal Bali, Wayan Sudirta SH, Rektor Unud Prof Bakta, dan mantan Rektor Universitas Ngurah Rai Denpasar Prof Cok Atmaja.

Sejumlah wartawan terlibat dalam diskusi yang lebih berwujud sebagai kegiatan dengar pendapat itu. Para peserta diskusi mempertanyakan landasan faktual yang diperlukan untuk mewujudkan otonomi khusus Bali.

Misalnya, apakah masalah kesenjangan antar daerah akibat ego kewilayahan dengan munculnya otonomi daerah. "Setelah hilang lebih dari delapan tahun, bagaimana ide ini muncul kembali," kata Rofiqi Hasan, wartawan sebuah harian terbitan Jakarta.

Masalah otonomi khusus Bali mendapat berbagai tanggapan, apalagi bila dikaitkan dengan eksistensi orang Bali yang tidak hanya tinggal di Bali, namun juga di daerah lain. Mantan Rektor Universitas Ngurah Rai Cok Atmaja mengatakan, orang khawatir terhadap otsus boleh-boleh saja.

Tapi otsus tidak dimaksudkan sebagai masalah kesukuan, tetapi masalah orang Bali dan tata ruang wilayah Bali sendiri. "Kita hidup sudah ratusan tahun saling berbeda, dari jaman raja. Toleransi tetap ada. Itu fakta dan data," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement