REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA
Kebahagiaan (as-sa’adah) adalah harapan meski dipahami berbeda oleh setiap insan sesuai keyakinan dan pemahaman hidupnya. Karena itu, jalan yang ditempuh untuk meraihnya pun berbeda pula.
Kebahagian harus dicari dan diusahakan, tidak datang dengan sendirinya (QS.28:77).
Makna kebahagiaan seorang Muslim adalah pencapaian dunia dan akhirat, material dan spritual, individual dan sosial, emosional dan intlektual. Sebuah kebahagiaan yang utuh (integrated) dan menyeluruh (komprehensif).
Mahatma Gandhi pernah mengatakan .”Happiness is when what you think, what you say and what you do are in harmony”.(Kebahagian adalah ketika apa yang Anda pikirkan, katakan dan lakukan terdapat kesesuaian).
Imam Al-Gazali membagi kesenangan manusia itu pada dua tingkatan yakni lazaat yaitu kepuasan (lezat) dan sa’adah (kebahagiaan). Yang pertama lebih pada aspek indrawi dan sesaat (material) sedangkan yang kedua pada aspek batini (rasa dan langgeng).
Puncak tertinggi dari kepuasan dan kebahagiaan manusia adalah ma’rifatullah yakni mengenal Allah. Kebahagiaan itu bergerak dalam ranah kalbu (rasa), tapi ekspresinya kongkrit berupa keceriaan, keindahan, kelapangan, ketaatan dan kemanfaatan hidup.
Hati manusia adalah tempat berlabuhnya sifat ilahiyyah, maka setiap kata, sikap dan perilaku yang bersesuaian (yang tergambar dalam asma al-husna) akan menentramkan. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengannya akan merisaukan. (QS.91:8-10),
Dalam sebuah Riwayat, Nabi saw berpesan : “Kebahagiaan manusia itu ada tiga dan deritanya pun ada tiga. Kebahagiaan itu adalah istri yang shalehah, rumah yang bagus dan kendaraan yang baik. Sedangkan derita manusia yaitu : istri yang jahat, rumah yang buruk dan kendaraan yang jelek”. (Hadits Riwayat. Ahmad dari Sa’ad bin Abi Waqash ra).
Pertama ; Istri shalehah (al-mar’atush shalihah). Ia adalah jalan mendapatkan anak yang saleh dan rumah yang nyaman (keluarga sakinah). Kriteria kesalehan istri adalah menyenangkan jika dipandang, merasa nyaman jika ditinggalkan, menjaga kehormatan, harta dan patuh jika diperintahkan (HR. Al-Hakim dan An-Nasai).
Agama menuntun agar menikah karena agamanya, bukan karena kecantikan dan hartanya sebab akan membuatnya binasa dan durhaka (sombong). “Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah istri salehah”. (Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar).
Kedua ; Rumah yang bagus (al-maskanush shalih). Dalam riwayat lain dijelaskan dengan “rumah besar yang banyak didatangi tamu” (ad-daru takuunu waasi’atan katsiroh al-marofiqi).
Rumah tidak hanya tempat berteduh dari panasnya terik matahari dan dinginnya udara malam serta melepaskan lelah. Tapi ia juga tempat membangun kehidupan keluarga dan pemimpin umat masa depan.
Rumah adalah tempat menyusun strategi perjuangan dakwah dan sumber inspirasi meraih kesuksesan. Baitii jannatii (rumahku adalah surgaku). Demikian Nabi saw.
Secara fisik, rumah yang bagus adalah besar, lega, bersih dan indah dengan pekarangan tertata rapi. Tapi, secara sosial ia terbuka menerima tamu (silaturrahim) terutama orang-orang lemah (dhuafa dan mustad’afin).
Secara spritual ia menjadi tempat dilantunkan ayat suci Al-Qur’an, mengkaji dan mengajarkannya kepada anak-anak (madrasah), ditegakkan shalat dan untuk taqarrub kepada Allah.
Ketiga ; Kenderaan yang baik (al-markabush shalih). Kendaraan adalah simbol status sosial, mobilitas dan interaksi sosial dalam mencari keberuntungan hidup. Kendaraan adalah alat untuk mencapai tujuan dengan cepat, mudah, aman dan nyaman.
Jika kita menempuh perjalanan dengan kendaraan yang bagus, ber-AC, harum dan cepat, maka perjalanan akan mudah dan menyenangkan. Ketika panas terik tak berkeringat, ketika hujan tak kebasahan, takkala angin kencang tak terhempaskan.
Tapi, jangan lupa kendaraan juga harus bermafaat dalam membangun umat, menolong sesama dan mempermudah jalan dakwah. Ketiga pintu kebahagiaan tersebut merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Jika salah satunya tiada, yang lain tak bermakna.
Kita mesti sadari, ketiga hal tersebut bukan tujuan hidup, tapi hanya sarana untuk meraih kebahagiaan hakiki, yakni berjumpa dengan Allah kelak di surga.
Jika ketiga hal itu sebagai faktor eksternal, maka kebahagiaan harus ditopang dengan kualitas internal yakni dikokohkan dengan pondasi keimanan, buka pintunya dengan kunci keikhlasan, hiasi dengan pengharum kesyukuran.
Selain itu, pagari dengan tembok kesabaran, isi dengan mebeler ilmu pengetahuan dan selalu bersihkan dengan sapu ketauhidan. Allahu a’lam bish-shawab.