REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesian Police Watch (IPW) kembali menemukan fakta baru terkait pengadaan barang dalam sebuah proyek pada anggaran tahun 2013 Polri.
Proyek Pemanfaatan Optimalisasi Untuk Penguatan Sarana Prasarana Polri (POUPSP) yang dianggarkan sebesar Rp 1,8 triliun diduga IPW dimainkan oleh mafia-mafia. Mafia yang IPW sebut di sini ialah para pemenang tender yang mengambil tanggung jawab terhadap pengadaan barang pesanan Polri.
IPW menuding, para pemenang tender ini sengaja dipilih oleh badan legislatif yang menguasai pengaturan anggaran Polri.
Hal yang dicermati oleh IPW ialah para mafia ini sudah melakukan konglikong dengan DPR dan bahkan dengan oknum kepolisian sendiri.
Demikian hal tersebut disampaikan oleh Presdir IPW Neta S Pane Rabu (6/2). Neta mengatakan, adanya main mata para mafia ini membuat harga belanjaan Polri di POUPSP membumbung tinggi.
Dari mulai kuda yang perekornya dibanderol Rp 468 juta, anjing Rp 150 juta, hingga kamera poket sampai menyentuh Rp 8 juta per unitnya. “Harganya jadi gila-gilaan akibat ulah mafia-mafia ini. Polri seharusnya sadar akan hal tersebut,” kata dia.
Dia pun mengatakan masih banyak barang-barang lain yang haraganya di mark up oleh mafia-mafia tersebut. Disebutkannya, harga laptop Rp 28 juta perunit, eksternal disk Rp 7 juta perunit, personal komputer Rp 16 juta, kamera DSLR Rp 65 juta, audio video Rp 2,2 miliar perunit, handycam Rp 29 juta, dan tenda dapur umum Rp 40 juta per unit.
Lebih lanjut, bahkan dia menduga para mafia ini setidaknya telah menguasai beragam proyek dalam anggaran Polri yang alokasi anggarannya mencapai ratusan miliar.
Proyek-proyek tersebut antara lain, alat komunikasi, jaringan komunikasi, dan teknologi informasi senilai Rp 250 miliar menguasai proyek pengadaan kendaraan senilai Rp 258 miliar, lalu pengadaan alat-alat deteksi dan kapal. Kemudian ada juga alat-alat untuk reskrim senilai Rp 600 miliar, dan pengadaan peralatan intelijen dan satwa Polr senilai Rp 312 miliar.
Neta mengaku IPW telah mengantongi sejumlah nama mafia yang terendus memegang tender dari pengadaan barang Polri ini.
“Ada lima mafia, TS, R, S, MA, dan M. Mereka ini sebenarnya pemain lama. Dulu sempat kerja ga becus lalu di-black list polisi. Tapi karena petinggi-petinggi Polri yang dulu black list mereka sekarang sudah pensiun, mereka main lagi,” ujar dia.
Neta mengatakan, para mafia ini tak boleh dibiarkan melenggang mulus untuk terus melakukan aksinya. Untuk itu dia pun meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera menyelidiki temuan lembaga pengamat independen Polri ini.
“Kami akan siapkan nomor telepon sampai data-data terkait gerak-gerik mafia ini kalau KPK mau serius,” ujarnya.
Proyek POUPSP sebesar Rp 1,8 triliun ini menjadi bagian dari anggaran Polri tahun 2013 yang mencapai Rp 45,6 tiliun.
POUPSP sendiri banyak dikeluhkan sejumlah pengamat karena dinilai tidak tepat sasaran dalam penggelontoran uangnya.
Pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia (UI) Bambang Widodo Umar mengatakan, proyek tersebut khsusunya pembelian kuda dan anjing tidaklah prospektif.
“Untuk apa beli kuda dan anjing kalau pengamanannya untuk di kota besar. Kalau di daerah terpencil seperti Papua yang banya pegunungannya mungkin efektif,” kata dia pada Republika Rabu (6/2).
Bambang bahkan menduga, pembelian anjing dan kuda ini diperuntukan untuk menghadang demo di kota-kota besar.
“Menghadapi demo dengan polisi saja kadang sering muncul pelanggaran HAM apalagi menggunakan binatang segala. Tentu ini tidak tepat,” tamabah dia.
Dia pun menyoroti polah para pimpinan Polri yang tidak cermat dan teliti dalam memilih penggunaan anggaran dengan baik.
Tak hanya itu, Bambang juga turut menaruh perhatian pada permainan oknum legislatif yang menyetujui anggaran ini. Dirinya menyarankan, sudah saatnya lembaga pengawas independen kepolisian dilibatkan dalam setiap alokasi anggaran Polri.
“DPR sebagai penyetuju anggaran juga di sini harusnya selektif. Kalau perlu minta studi kelayakan untuk setiap barang yang akan dibeli oleh polisi. Lembaga independen patut dilibatkan,” ujarnya.
Sementara itu, dari kepolisian sebelumnya sudah menanggapi perihal pembelian dalam proyek POUPSP ini yang paling disoroti, yaitu kuda dan anjing.
Menurut Asisten Perencanaan (Asrena) Polri Irjen Sulistyo Ishak, pembelian anjing yang menghabiskan Rp 13,5 miliar dan kuda Rp 3,1 miliar ini ada alasannya. Menurut dia, harga anjing dan kuda ini telah mengikuti standar pasar dunia.
Sembilan puluh ekor anjing dan tujuh ekor yang dibeli ini dalam penghitungan alokasi pembeliannya tak hanya dijatuhkan pada harga perhewannya.
“Memang satu anjing dibeli dengan 8-9 ribu dolar amerika dan kuda satunya Rp 450 juta. Tapi ini setiap uang untuk pembelian satu ekornya sudah termasuk dengan segala biaya pengiringnya,” kata dia akhir bulan lalu.
Biaya tersebut dikatakannya meliputi, PPH, pajak masuk, biaya akomodasi, biaya pengiriman ke Indonesia. Tak hanya itu, biaya karantina dan pelatih sebanyak dua orang, serta tranpsortasi lokal untuk pendistirbusian juga turut dihitung.
“Jadi ya jangan lihat dana yang digelontorkannya saja, tapi cermati juga faktor penunjangnya,” kata dia