REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Sabtu (9/2), dengan keras mengutuk serangan terhadap satu kamp yang menampung orang Iran di pengasingan di Irak tengah, yang dilaporkan menewaskan lima orang.
"Sekretaris Jenderal dengan keras mengutuk serangan mortir hari ini terhadap Kamp Liberty, instalasi penampungan sementara di dekat Baghdad buat warga bekas Kamp Ashraf. Akibatnya, sejumlah penghuni tewas dan melukai beberapa warga lagi serta perwira polisi Irak," demikian isi pernyataan yang dikeluarkan di Markas PBB, New York, oleh juru bicara Ban, seperti dilansir dari Xinhua, Ahad (10/2).
Kamp Liberty adalah bekas pangkalan militer AS di dekat Ibu Kota Irak, Baghdad, yang digunakan oleh anggota Organisasi Mujahidin Rakyat Iran (PMOI), satu kelompok oposisi Iran. Kamp itu diserang dengan menggunakan mortir serta rudal pada pukul 05.45 waktu setempat Sabtu (09.45 WIB), kata beberapa laporan.
Sebanyak 3.000 anggota PMOI, yang juga dikenal dengan nama Mujahideen-e Khalq, dipindahkan ke Kamp Liberty tahun lalu atas desakan pemerintah Irak, yang ingin menutup pangkalan yang telah lama digunakan oleh kelompok tersebut. Itu dimaksudkan sebagai tempat tinggal sementara, selama PBB melakukan proses pemukiman mereka kembali.
"Misi Bantuan PBB buat Irak, yang dipimpin oleh wakil khususnya Martin Kobler secara seksama bekerja sama dengan pemerintah Irak mengenai reaksi atas peristiwa tersebut, termasuk bantuan medis buat korban cedera," kata pernyataan itu.
"Sekretaris Jenderal menyeru Pemerintah Irak, yang bertanggungjawab atas keselamatan dan keamanan warga Kamp Liberty dan Kamp Ashraf, agar secara tepat dan sepenuhnya menyelidiki peristiwa tersebut serta menyeret pelakunya ke pengadilan," kata pernyataan itu.
Ban telah berulangkali menyatakan kerusuhan dan provokasi tak bisa diterima, katanya. "Ia kembali menyampaikan komitmen kuat PBB untuk melanjutkan upaya lamanya untuk memfasilitasi penyelesaian damai dan langgeng buat warga Kamp Liberty dan Kamp Ashraf berdasarkan kesepakatannya dengan Pemerintah Irak pada 25 Desember 2011," katanya.