REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
Rentetan musibah berulang kali mewarnai diri dan bangsa kita. Mulai kasus korupsi yang tidak pernah berjeda, kekerasan yang marak dimana-mana, peredaran dan pemakaian narkoba yang merajalela, praktik prostitusi yang meramba ke segala usia, keterpurukan dunia pendidikan yang belum juga bangkit dan siuman, bahkan bencana alam bagai agenda rutin tahunan yang melanda sebagian wilayah Indonesia. Ini semua jelas tidak alpa makna.
Kaum beragama tidak sepantasnya gagal dalam menangkap makna dari setiap musibah. Ketika musibah datang menyapa, yang pertama harus kita insyafi adalah noda dan dosa diri. Yakinlah bahwa setiap musibah pasti buah dari noda dan dosa kita sebelumnya. Bukankah menurut Islam musibah itu datang sebagai teguran, selain juga sebagai ujian dan hukuman?
Bagi kaum beriman, teguran berupa musibah itu merupakan alarm kehidupan. Fungsi alarm tentu untuk membangunkan kita agar segera membuang selimut noda dan dosa. Selayaknya kita dapat memetik sari hikmah dari setiap kisah dalam Al-Quran. Karena, sejauh mau mentadaburi kalam Allah itu, tidak pernah ada suatu kejadian yang berlaku atas manusia hari ini kecuali ia sudah dijelaskan dengan sangat gamblang dalam Al-Quran. Allah menegaskan, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu ada pelajaran (ibrah) bagi orang-orang yang mempunyai akal” (Yusuf: 111).
Musibah memang kadang hadir dan menyapa kaum beriman. Tujuannya tidak lain untuk menakar kadar keimanan mereka. Semakin kokoh iman seseorang, semakin dahsyat pula ujian yang akan diterimanya. “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan ‘kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji. Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar dan orang-orang yang dusta” (Al-Ankabut: 3-4).
Tetapi yang berlaku atas diri dan bangsa kita sekarang adalah bahwa Allah sedang menegur kita, kalau bukan menghukum. Alarm kehidupan itu sudah berdering begitu nyaring. Kita harus segera siuman dari kegemaran mendayung sampan kehidupan di antara lautan pahala dan dosa.
Ibadah yang sudah susah payah kita bangun, jangan lagi secara sekejap kita runtuhkan dengan perilaku picik keseharian kita. Bukankah kita rajin shalat tetapi juga kerap bermaksiat, kita gemar berzakat tetapi juga tidak pernah absen menindas yang melarat, kita rutin berpuasa tetapi suka berlaku semena-mena, kita rajin berhaji tetapi masih harmonis dengan korupsi?
Bangsa ini sukar maju, karena Islam masih sebatas baju. Faktanya, meski punya kecerdasan akal dan mental, manusia tetap potensial berbuat salah dan lupa. Salah dan lupa adalah dua potensi kemanusiaan manusia. Bukan hanya monopoli kita, bahkan juga berlaku pada pribadi para nabi yang suci dan mulia.
Menariklah membaca beberapa ayat yang berkisah perihal bagaimana Allah menegur manusia-manusia suci dan mulia itu ketika mereka berbuat salah dan lupa.
Nabi Musa (1527-1407 SM) pernah berbuat salah dan lupa dengan mengaku diri paling pandai dan mulia. Segera Allah perintahkan Musa untuk menemui seorang hamba di tempat dua lautan bertemu. Hamba saleh bernama Khidhir itulah yang lantas ditakdirkan Allah untuk menyadarkan Musa. Menurut kisah Al-Quran, Musa akhirnya legowo mengakui bahwa tiada manusia paling paripurna di bumi ini. Ia bahkan sadar ada manusia lain yang mengungguli dirinya dalam bidang ilmu dan hikmah. (Al-Kahfi: 60-82).
Teguran Allah juga pernah dialami Nabi Dawud (1041-971 SM). Dawud ditegur Allah karena menikahi seorang gadis belia bernama Sabigh binti Syaigh. Ceritanya, Sabigh binti Syaigh sudah lama dipinang Uria bin Hannan. Tetapi ketika Uria sedang berjihad di negeri orang, paras ayu Sabigh memikat hati Dawud. Segeralah Dawud melamar dan menikahinya. Maka turunlah dua malaikat yang menyaru sebagai manusia khusus untuk mengingatkan Dawud atas kesalahannya itu (Shad: 21-26).
Juga Nabi Yunus (820-750 SM). Yunus ditegur Allah karena pergi meninggalkan kaumnya di negeri Ninawa. Tidak tahan menghadapi para penentang dakwah, Yunus akhirnya pergi dengan perasaan jengkel dan marah, seraya berdoa agar Allah menimpakan azab kepada mereka. Allah menjawab doanya. Bangsa Ninawa sadar, tetapi Yunus tidak kunjung pulang. Allah kemudian menegurnya dengan mengirim gelombang dahsyat dan menghempaskan Yunus ketika menempuh perjalanan laut. Terlempar ke laut, seketika tubuhnya ditelan paus besar. Dan selama beberapa hari, Yunus menjalani hukuman di dalam perut ikan itu (Al-Anbiya: 87, As-Shafat: 140-145).
Bahkan Rasulullah Muhammad (571-632 M) juga mengalami kisah serupa. Menurut Al-Quran, Muhammad sedang berdialog dengan pembesar-pembesar Quraisy. Di tengah perbincangan, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Ummi Maktum. Pria papa yang buta mata itu hendak belajar Islam. Tetapi karena Rasulullah malah mengabaikannya dengan berpaling muka darinya, maka turunlah surah Abasa ayat 1-42.
Jika hamba-hamba Allah yang maksum dan mulia saja pernah berbuat salah dan lupa, apalagi kita yang serba tidak sempurna. Poin pentingnya adalah mereka selalu ikhlas dan waskita. Menjalani teguran berupa musibah, tidak pernah muncul pada mereka sikap kesal, apalagi berburuk sangka. Justru yang mereka lakukan adalah taubah nasuhah, sambil segera waspada dan meningkatkan ibadah.
Bagi mereka, alarm kehidupan telah menjadi tangga keimanan. “Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman” (Ali Imran: 171).
Jadi, setiap musibah yang menimpa kita tidak lain adalah alarm kehidupan. Sudah terlalu sering kita berbuat salah dan lupa. Maka dering alarm kehidupan itu harus dapat membangunkan nurani kita. Berputus asa bukan pilihan sikap yang bijak. Teringatlah saya ayat berikut, “Dan tidaklah Kami perlihatkan kepada mereka suatu mukjizat kecuali itu lebih besar dari mukjizat-mukjizat yang sebelumnya. Kami timpakan kepada mereka azab supaya mereka kembali” (Az-Zukhruf: 48).
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya