REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Ada seorang budak mencuri dan tertangkap basah. Pencuri itu dilaporkan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib RA.
“Benarkah engkau mencuri?” tanya Ali.
“Ya, aku telah mencuri,” jawabnya.
Ali mengulangi kembali pertanyaannya itu sampai tiga kali dan sang pencuri menjawab dengan jawaban yang sama.
Ali kemudian memerintahkan agar pencuri itu dipotong tangannya. Setelah dipotong, pencuri itu membawa tangannya yang terpotong itu dan keluar dari tempat pemotongan.
Dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan Salman al-Farisi.
Lalu, Salman bertanya kepadanya, “Siapa yang memotong tanganmu ini?”
Ia menjawab bahwa tangannya dipotong oleh orang yang menjadi kekuatan agama, menantu Rasulullah SAW, dan Amirul Mukminin.
Salman terheran-heran dan bertanya, “Mengapa engkau masih memuji-mujinya (Ali), padahal tanganmu telah dipotong olehnya?”
Pencuri itu menjawab dengan tulus. “Ya, karena aku hanya kehilangan satu tangan, tetapi potongan tangan itu akan menyelamatkanku dari siksa api neraka yang superdahsyat.”
Salman lalu menemui Ali dan menceritakan pertemuannya dengan pencuri itu kepadanya. Mendengar apa yang dikatakan Salman, Ali lalu memerintahkannya untuk memanggil budak itu sambil membawa tangannya yang terpotong.
Sesampai di hadapan Ali, beliau memegang tangannya yang terpotong dan menempelkannya kembali pada tempatnya, lalu menutupinya dengan taplak meja sambil berdoa kepada Allah SWT. Ternyata, tangan itu dapat tersambung kembali atas izin Allah SWT.
Kisah tersebut menginspirasi kita semua bagaimana pemimpin harus mampu menegakkan keadilan hukum tanpa pandang bulu. Budak yang mencuri saja dihukum potong tangan, apalagi pejabat atau politisi yang melakukan korupsi.
Hukum potong tangan diberlakukan setelah pencuri itu betul-betul terbukti bersalah dan mengakui perbuatannya. Amirul Mukminin benar-benar menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap pencuri tanpa proses hukum yang berbelit-belit. (QS al-Ma'idah [5]: 38).
Jika ada koruptor di negeri ini yang bersikap gentle, mengakui kesalahan, mau dipotong tangannya, dan merasa takut akan azab di akhirat kelak, tentu patut kita acungi jempol. Sayangnya, koruptor itu sering kali berkelit, memutarbalikkan fakta, dan tidak jujur.
Pada umumnya, koruptor, khususnya yang beragama Islam, tidak memahami dengan baik ayat yang pernah disampaikan Khalifah Umar bin Abdul Aziz saat dilantik sebagai khalifah. "Aku benar-benar takut akan azab hari yang besar (hari Kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku." (QS al-An'am [6]: 15).
Kalau saja para koruptor itu masih menyisakan “ruang kesadaran batin dan rasa takut” terhadap azab Allah SWT, niscaya mereka akan malu dan tak pernah tergoda untuk korupsi. Jika urat saraf “malu dan rasa takut” itu sudah tak ada (putus), tak ada salahnya hukum potong tangan untuk memberi efek jera dan kemaslahatan bagi bangsa.
Jika hukuman koruptor itu hanya dipenjara dan didenda dengan sejumlah uang tertentu, sementara mereka juga mendapat remisi, hukuman ini sama sekali tidak efektif. Sebab, suatu saat mereka akan keluar dari penjara dan bisa saja mengulangi perbuatannya.