REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zainal Arifin
Abu Thalib bin Abdul Muthalib adalah seorang pembela dan pendukung perjuangan Nabi SAW dalam menyebarkan Islam. Kala itu, kaum Quraisy merasa terancam ketika Nabi SAW mendakwahkan ajaran Islam.
Mereka berharap pada Abu Thalib untuk menghentikan keponakannya itu agar tidak menyebarluaskan agama Islam.
Meskipun tekanan dan teror terus datang dari kaum Quraisy, Abu Thalib mempertahankan dukungannya terhadap Nabi SAW dalam menyebarkan dakwah Islam.
Sayangnya, meski berstatus sebagai paman yang membesarkan dan membela Nabi SAW, Abu Thalib hingga akhir hayatnya tidak mengimani ajaran Islam yang disampaikan Nabi SAW, keponakannya sendiri.
Nabi SAW pun pernah berdoa; “Semoga syafa’atku bermanfaat baginya kelak di hari kiamat. Karena itu dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal, api neraka mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya mendidih.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keprihatinan mendalam dirasakan Rasulullah yang ingin mengislamkan pamannya, namun Allah SWT tak memberikan hidayah pada pamannya itu.
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”(QS al-Qashshash: 56).
Hidayah merupakan hak prerogatif Allah yang hanya diberikan kepada manusia yang dikehendaki-Nya. Bersyukurlah, kita yang meski hidup jauh dari zaman Nabi SAW dan para sahabatnya, kita diberi nikmat berupa hidayah untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Hal ini merupakan atas kehendak dan ridha Allah SWT.
Tidakkah kita melihat perjuangan Nabi Nuh AS yang berdakwah sekian lama demi mengajak umatnya beriman kepada Allah?
Hingga usianya hampir seribu tahun (950 tahun), hanya sedikit kaumnya yang beriman kepada Allah SWT. Bahkan, anak dan istri yang disayanginya, juga tidak mengindahkan seruan Nabi Nuh AS untuk beriman kepada Allah SWT.
Kisah lainnya, seperti yang dialami Nabi Ibrahim AS. Hidup di tengah-tengah orang-orang yang menyembah berhala dan menyekutukan Allah SWT, Nabi Ibrahim AS yang kokoh mengimani Allah SWT tak mampu mengajak orang tuanya untuk mengikuti ajaran yang dibawanya.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin.”(QS al-An’am: 75).
Dengan menyadari kita yang bukan siapa-siapa, diberi hidayah oleh Allah untuk mengenal keagungan-Nya, sudah selayaknya kita banyak bersyukur. Selain itu, kita juga harus terus menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya agar nikmat keimanan itu tak lepas dari badan.
Betapa sengsara dan celakanya, bila Allah mencabut hidayah dari diri kita, sebagaimana Allah mencabut hidayah-Nya dari orang-orang yang suka berbuat durhaka dan aniaya. Hidayah itu begitu mahal, karena ia akan mengantarkan seseorang pada kasih sayang Allah dan surga-Nya.
“…Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS al-Baqarah [2]: 213). n