REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Gerindra menilai, penerapan presidential threshold (ambang batas presiden/PT) melanggar konstitusi. Bahkan, dinilai menciderai prinsip hak rakyat dalam sistem demokrasi.
"Ini anti demokrasi," kata Wakil Ketua Umum DPP parai
PT menjadi salah satu isu krusial yang masih menjadi perdebatan di DPR terkait RUU Pilpres. Ada beberapa partai bersikukuh mempertahankan PT 20 persen. Sementara partai lain menginginkan angka lebih rendah. Yaitu, sesuai parlimentary threshold (ambang batas parlemen) 3,5 persen atau malah dihapuskan.
Menurutnya, angka PT 20 persen patut dipertanyakan landasan hukumnya. Lantaran, dalam UUD 1945 pasal 6 tak diamanatkan penetapan ambang batas.
Konstitusi hanya menyebut, presiden dan wapres diajukan oleh partai atau gabungan partai. Sehingga, penetapan angka ambang batas untuk pencalonan presiden, jelas melanggar konstitusi.
Fadli menganggap, angka PT yang tinggi sebagai cermin oligarki partai. Sehingga bertentangan dengan semangat demokrasi. "Ini hanyalah kepentingan subyektif jangka pendek partai tertentu," papar dia.
Hal itu, lanjutnya, juga bertentangan dengan hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Oligarki partai ini pun memangkas hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Termasuk membatasi potensi munculnya capres-capres terbaik bagi bangsa untuk 2014 dan seterusnya.
"Gerindra menginginkan PT sesuai dengan parlimentary threshold. Sehingga semakin banyak alternatif capres. Biar rakyat yang memilih. Jangan sampai capres hanya milik segelintir elite partai," papar dia.