REPUBLIKA.CO.ID, GAO, MALI -- Pasukan Prancis hari Rabu menjinakkan sebuah bom rakitan seberat 600 kilogram (kg) di pusat Gao, kota terbesar di Mali utara yang menjadi sasaran serangan militan dalam beberapa hari terakhir ini.
"Bom itu, yang terbuat dari empat tong logam berisi peledak dengan kabel penghubung, berada di halaman sebuah rumah yang ditinggalkan, bersama sejumlah peluru senjata mesin berat di tanah berdekatan dan beberapa bom lebih kecil di dalam bangunan tersebut," ungkap seorang koresponden AFP.
Bom itu berada di sana sejak setidaknya Senin, kata wartawan itu. Lokasinya berada di dekat sebuah hotel di mana puluhan wartawan asing tinggal.
Dalam beberapa hari ini, Gao dilanda serangkaian serangan yang diklaim oleh kelompok garis keras Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO), yang menguasai kota itu setelah kudeta militer pada Maret tahun lalu.
Gerilyawan MUJAO melancarkan serangan-serangan bom bunuh diri pada Jumat dan Sabtu, kemudian menembaki pasukan Mali dari dalam kantor polisi pusat yang ditinggalkan pada Minggu, yang menyulut bentrokan di jalan yang berlangsung selama beberapa jam.
Sebuah helikopter serang Prancis menghancurkan kantor polisi itu dalam serangan pada Senin pagi. MUJAO mengklaim anggota-anggotanya masih berada di Gao dan berjanji akan melancarkan serangan-serangan lebih lanjut.
Pasukan yang dipimpin Prancis merebut kembali Gao pada 26 Januari dari militan terkait Alqaidah yang menguasai wilayah Mali utara selama 10 bulan setelah kudeta militer.
Prancis, yang bekerja sama dengan militer Mali, pada 11 Januari meluncurkan operasi ketika militan mengancam maju ke ibu kota Mali, Bamako, setelah keraguan berbulan-bulan mengenai pasukan intervensi Afrika untuk membantu mengusir kelompok garis keras dari wilayah utara.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret 2012 menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.
PBB telah menyetujui penempatan pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit di bawah pengawasan kelompok negara Afrika Barat ECOWAS. Dengan keterlibatan Chad, yang telah menjanjikan 2 ribu prajurit, berarti jumlah pasukan intervensi itu akan jauh lebih besar.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Alqaidah di Maghribi Islam (AQIM), menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis, sejak April tahun lalu.
Pemberontak suku pada pertengahan Januari 2012 meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya. Namun, perjuangan mereka kemudian dibajak oleh kelompok-kelompok muslim garis keras.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.