REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung, MA.
Suatu ketika, Baginda Rasulullah Saw pernah berpesan yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Said Al-Khudri, ”Kamu akan mengikuti sunnah (tradisi) orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya :’Wahai Rasulullah, apakah yang Tuan maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani’ ? Rasul Menjawab; ’Kalau bukan mereka siapa lagi?”
Keprihatinan yang mendalam bagi kita orang tua yang memiliki anak remaja khususnya dan umat Islam seluruh dunia, terhadap fenomena yang sudah merasuk dan menggerogorti remaja Muslim, bukan hanya di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia.
Tentu saja tidak cukup dengan keprihatinan, tapi harus dengan aksi nyata yakni meningkatkan peranan orang tua dan masyarakat dalam mendidikan generasi muda.
Setiap tanggal 14 Februari dirayakan sebagai Valentine’s Day (Hari Kasih Sayang). Kasih sayang yang bermakna kebobrokan moral atau kemaksiatan yang berbaju kasih sayang. Fenomena ini merambah luas baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Kata Valentine berasal dari bahasa Latin yang berarti 'Yang Maha Perkasa', 'Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa'. Kata ini ditujukan kepada Nimroe dan Lupercus, tuhan orang Romawi.
Jadi, ketika kita meminta orang menjadi to be my Valentine, berarti itu sama dengan kita meminta orang menjadi 'Sang Maha Kuasa' terhadap diri kita.
Di sinilah mulai muncul problem akidah, yakni kemusyrikan. Karena menjadikan sesuatu sebagai ilah (sesembahan dan penguasa hidup) yang bertentangan dengan Tauhid (mengesakan Allah SWT).
Perayaan Valentine’s day sendiri berasal dari perayaan ritual Lupercalia yang merupakan rangkaian upacara penyucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Pada hari itu, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak.
Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan nama gadis yang keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk bersenang-senang.
Ketika Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini menjadi nuansa Katolik dan mengganti nama gadis-gadis tersebut dengan nama Paus atau Pastor.
Pada abad ke-3 Masehi, Santo Valentine (seorang pemimpin Katolik) bersama temannya Santo Marius secara diam-diam menentang pemerintahan Kaisar Claudius II.
Kaisar memerintahkan menangkap dan memenjarakan Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan Romawi.
Lalu ia dihukum gantung pada 14 Februari 269 M. Dari kejadian itulah, Paus Gelasius meresmikan 14 Februari 496 sebagai Valentine’s Day untuk mengenang Santo Valentine.
Oleh karena itu, setiap perayaan, seperti akad nikah, resepsi, acara keluarga dan sejenisnya yang mengaitkan dengan momentum Valentine’s Day, merupakan pengakuan akan ritual agama Romawi dan kristiani tersebut.
Apalagi dijadikan sebagai justifikasi untuk melakukan kemaksiatan kolektif yang merusak akidah dan akhlak remaja kita (pesta seks dan hura-hura).
Bukan berarti Islam tidak mengajarkan Kasih Sayang. Justru, kasih sayang sendiri berasal dari nama Allah SWT. yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang mesti menghiasi (akhlak karimah) setiap pribadi Muslim.
Cinta dan kasih sayang adalah fitrah dan karunia Ilahi yang semestinya dimuliakan dan tidak patut diekspresikan dalam bentuk kemaksiatan untuk dan atas nama cinta.
Perayaan Valentine’s Day merupakan kejahiliyahan modern yang lebih berbahaya dibanding dengan jahiliyah Bangsa Arab dahulu yang konvensional dan lokal.
Meniru dan ikut-ikutan terhadap suatu budaya berarti sama saja dengan mereka. Nabi SAW. mengingatkan hal ini jauh hari, ”Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka”. (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad dari Ibnu Umar).
Jangan kita biarkan mereka tersesat, karena kita akan bertanggung jawab kelak di hadapan Pengadilan Rabbul Jalil, Allah SWT.
Untuk itu, setiap orang tua harus mengawasi dengan ketat anak-anak remajanya pada waktu perayaan itu tiba dan bertanggung jawab menjaga keluarga dari api neraka.(QS.66:6). Allahu a’lam bish-shawab.***