REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta agar kewenangan sertifikasi halal tetap di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Alasannya, MUI yang diisi ulama merupakan lembaga yang paling berhak untuk melakukan sertifikasi tersebut.
"Jika kewenangan sertifikasi halal diambil pemerintah, dikhawatirkan keputusan sebuah produk itu halal atau haram bisa menjadi keputusan politik. Itu tidak baik," kata Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid, di Jakarta, Jumat (15/2).
Sebaiknya, kata Hidayat, pemerintah belajar dari pengalaman penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan. Penentuan bulan Ramadhan itu sangat tergantung dengan menteri agamanya.
Jika menterinya berasal dari Muhammadiyah maka penentuan Ramadhan berdasarkan hisab. Namun jika menterinya berasal dari Nahdlatul Ulama (NU) maka penentuan Ramadhan berdasarkan rukyat.
Ini yang kemudian membuat masyarakat menjadi bingung. Karenanya, ia meminta jangan sampai kebingungan itu juga terjadi terkait dengan masalah haram dan halal.
"Jika ini terjadi, maka kepercayaan publil terhadap sertifikasi halal bisa berkurang," papar dia.
MUI, terang Hidayat, merupakan lembaga ulama yang independen. Mereka tidak terkait dengan perilaku politik praktis. Sehingga saat membuat keputusan sebuah produk itu halal, keputusannya murni berlandaskan hukum Islam yang ada. "Tidak ada unsur politik di sini," terangnya.
Hidayat juga menolak keras adanya wacana agar semua lembaga seperti Muhammadiyah, NU, MUI, dan pemerintah bisa membuat sertifikasi halal. Karena bisa saja, saat pengajuan sertifikasi halal sebuah produk dibatalkan oleh sebuah lembaga, akan mencari sertifikas lain yang mau mendukungnya.
"Jika ini terjadi, maka bahaya besar akan mengancam," katanya.
Hidayat juga menghimbau agar partai-partai Islam lainnya mendukung langkah MUI supaya kewenangan sertifikasi halal tetap berada di tangan MUI.