REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tindakan intoleransi terhadap agama dianggap sebagai aksi dengan skenario. Sebagian besar bahkan merujuk pada kepentingan politik.
Peneliti Setara Institute, Ismail Hasani mengungkapkan, gerakan intoleran pada tempat ibadah tidak dapat dilepaskkan dari isu politik. Tujuannya, kata dia, untuk menonjolkan peran politik sekelompok orang.
Menurut Ismail, isu intoleransi menjadi materi paling mudah ditungggangi kepentingan politik. Isu ini dianggap paling cepat untuk memeroleh tujuan politik.
Sebab, kondisi iklim antar umat beragama di Indonesia sendiri juga masih labil. Dari data Setara, kekerasan terhadap agama sering terjadi menjelang pemilihan kepala daerah.
"Ini yang mestinya disadari. Potensi kekerasan agama kerap terulang, tapi tak ada upaya untuk membenahinya," kata Ismail di Jakarta, Jum'at (15/2).
Ia menambahkan, pemerintah terkesan melakukan pembiaran pada ketegangan antar-umat beragama, bahkan seperti sengaja tidak dituntaskan. Sebab, ada kecenderungan konflik seperti ini dijadikan sumber ketegangan lagi. Artinya, banyak kelompok yang memanfaatkan kondisi tidak sehat ini.
Sementara itu, Rumadi Ahmad,peneliti The Wahid Institute mendesak agar pelaku tindakan teror mendapat sanksi tegas. Aksi teror di tempat-tempat ibadah dianggapnya sebagai aksi untuk memecahbelah kerukunan antar umat beragama.
Bahkan, aksi tersebut dianggap untuk memunculkan kerusuhan sosial yang besar dalam masyarakat. "Kekerasan beragama merupakan persoalan serius di Indonesia," kata dia.