REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa waktu lalu Kementrian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 07/M-DAG/PER/02-2013 mengenai waralaba.
Peremendag tersebut berisi pembatasan gerai yang dimiliki sendiri (company owned outlet) paling banyak 250 outlet tersebut dinilai Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali) hanya menguntungkan perusahaan besar.
Menurut Ketua Dewan Pembina Wali, Amir Karamoy Permendag waralaba itu bertentangan dengan pasal 35 UU No 20 tahun 2008 yang menyatakan perusahaan besar dilarang menguasai perusaan menengah kecil.
"Dengan saham 60 persen berarti melanggar peraturan lainnya secara vertikal," katanya ketika dihubungi Sabtu (16/2).
Secara horizontal, permendag waralaba juga melanggar Permendag lainnya yaitu pasal 7 Permendag No 53 tahun 2012 tentang penyelenggaraan waralaba.
"Di situ jelas isinya pemberi waralaba tidak boleh menunjuk penyewa waralaba. Nah dengan Permendag waralaba yang sekarang pemilik modal terbesar bisa menunjuk siapa saja yang menanggung 40 persennya," kata Amir.
Karena itu, Amir mengungkapkan, pihaknya akan mengajukan judicial review terkait undang-undang yang menurunkan Permendag waralaba tersebut.
"Kami akan mengajukan judical review. Yang kami minta penghapusan pola penyertaan modal atau diganti dengan penyertaan modal UKM naik minimal 51 persen," kata Amir menegaskan.
Amir menuturkan dengan adanya Permendag warlaba maksud baik pengembangan UKM yang dimaksudkan pemerintah menjadi dipertanyaakan jika masih ada penyantuman pola penyertaan modal. "Sayang sekali. Maksudnya baik tapi karena tergesa-tergesa justru merugikan masyarakat," kata dia.
Kemudian, syarat yang dicantumkan dalam Permendag tidak berlaku jika pemberi waralaba berkeinginan membuka waralaba di tempat terpencil, Amir menilai kebijakan tersebut sebagai kebijakan yang politis. "Kalau permendag ini benar-benar produk hukum keberpihakannya jelas," katanya.
Amir menambahkan dengan adanya Permendag waralaba tersebut, iklim usaha waralaba di Indonesia masih tetap berkembang. Hal tersebut disebabkan pelaku usaha dalam negeri yang lebih memilih istilah kemitraan atau lisensi daripada waralaba.
"Karena dengan kata itu mereka terhindar dari ketentuan waralaba yang mengharuskan tiap perusahaan besar harus audit 2 tahun oleh akuntan publik secara berturut-turut kepada publik," ujarnya.