Ahad 17 Feb 2013 21:14 WIB

Generasi Saleh

Beberapa bocah tampak khusyuk mengaji di sebuah masjid (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Beberapa bocah tampak khusyuk mengaji di sebuah masjid (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA

Anak saleh dan berakhlak karimah menjadi dambaan setiap orang tua. Allah swt mengajarkan agar orang tua berupaya sungguh-sungguh dan berdoa agar termasuk orang yang saleh, bersyukur dan mendapatkan generasi yang saleh (46:15).

Begitulah yang dicontohkan Nabi Ibrahim as (37:100, 14:40) dan Nabi Sulaiman as (27:15). Anak saleh lahir dari orang tua yang saleh, yakni yang berbakti kepada Allah dan rasul, orang tuanya dan juga kepada anak-anaknya.

            

Dr Muhammad Nasih Ulwan dalam buku Tarbiyatul awlad fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) menjelaskan lima metode pendidikan yang berpengaruh untuk menyiapkan generasi saleh.

Pertama, pendidikan dengan Keteladanan. Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spritual dan emosional anak.

Pertanyaannya, apakah orang tua dan guru masih bisa menjadi teladan? Mereka belum bangga menjadikan kita sebagai idola. Untuk itu, kita harus menjadikan Rasulullah saw sebagai teladan.

Rasulullah saw diutus Allah SWT sebagai teladan terbaik bagi manusia dalam seluruh aspek kehidupan (33:21), baik sebagai orang tua, suami, tetangga, da’i, pemimpin, pengusaha dan lain-lain.

Kedua, pendidikan dengan Kebiasaan. Pembiasaan sangat berpengaruh dalam membentuk karakter dan pribadi anak, karena terjadi proses pengulangan yang terus menerus. Sehingga, sadar atau tidak, secara perlahan akan membekas dan menjadi kebiasaan.

Di sinilah peran penting pendidik (orang tua dan guru) untuk memilih perkataan, sikap dan perbuatan yang baik. Misalnya, menyuruh mereka shalat pada usia tujuh tahun dan memukulnya pada usia 10 tahun jika tidak menjalankannya (HR. Abu Dawud).  

Pembiasaan yang paling berpengaruh berasal dari kedua orang tua, guru dan teman-teman (lingkungan). Dalam masa tertentu, pengaruh teman atau lingkungan menjadi dominan, maka hendaklah melihat siapa yang menjadi temannya (HR. At-Turmudzi).

Ketiga, pendidikan dengan nasehat. Setelah keteladanan dan pembiasaan, anak-anak perlu petuah atau nasehat yang baik. Petuah yang menyentuh hati sanubari di waktu yang khusus pula.

Petuah yang tulus lahir dari kebersihan hati orang tua dan guru mampu memberi sentuhan dan kesejukan dalam diri anak. Al-Qur’an mengajarkan kita cara memberi nasehat yang baik dengan ungkapan lembut.

Hal ini tergambar pada seorang pendidik sejati yakni Lukman al-Kakim (31:13-19). Ungkapan yang santun, yaa bunayya laa tusrik billah (Hai anakku jangan menyekutukan Allah). Begitu pula ungkapan Nabi Nuh As. (Hud:42), Nabi Ya’kub as. (Yusuf:5), Nabi Ibrahim as. (2:132). 

Keempat ; Pendidikan dengan perhatian (pengawasan). Keteladanan, pembiasaan dan nasehat yang diberikan orang tua belum cukup jika tidak dibarengi dengan perhatian atau pengawasan ketat.

Orang tua harus terlibat dan memberikan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengiringi perkembangan anak. Mereka tumbuh dalam zaman yang berbeda dengan kita dahulu. Pengaruh dan godaan semakin kompleks dan bervariasi. 

Seringkali terjadi, karena kurang perhatian dan pengawasan orang tua, menyebabkan anak kehilangan pegangan. Pemerkosaan, pembunuhan, hubungan seks bebas, terlibat narkoba, kriminal dan seterusnya, sebagian besar terjadi karena kurangnya perhatian dan pengawasan orang tua.

Kelima ; pendidikan dengan Hukuman. Upaya maksimal orang tua dan guru melalui metode pendidikan di atas, adakalanya tidak berhasil atau kurang mendapat perhatian anak.

Pendidikan Islam memberikan ruang untuk melakukan hukuman atau sanksi (‘iqob) yang mendidik (ta’zir). Hukuman bukan untuk menyakiti tapi pencegahan (preventif) dan menimbulkan efek jera (kuratif). 

Dalam pendidikan anak, hukuman harus dilakukan secara bertahap, lemah lembut dan menghindari kekerasan (HR. Bukhari).

   

Patut kita renungkan, anak yang melihat orang tuanya berbuat dusta, ia tidak mungkin akan belajar jujur. Anak yang melihat orang tuanya berkhianat, ia tidak mungkin belajar amanah. Anak yang melihat orang tuanya mengikuti hawa nafsu, ia tidak mungkin akan belajar keutamaan.

Anak yang mendengar orang tuanya mencela, tidak mungkin ia akan belajar bertutur manis. Anak yang melihat orang tuanya marah dan emosi, tidak mungkin ia belajar sabar. Anak yang melihat orang tuanya bersikap keras, tidak mungkin ia belajar kasih sayang. Allahu a’lam bish-shawab.

n

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement