REPUBLIKA.CO.ID, SUBANG -- Harga gabah sampai saat ini masih jauh dari tanda-tanda menurun. Untuk gabah kering giling (GKG), harganya mencapai Rp 500 ribu per kwintal. Sedangkan, gabah dengan kondisi basah harganya Rp 410 ribu per kwintal.
Penyebab adalah panen yang masih jarang di sejumlah wilayah. Endang Sutisna (31 tahun), tengkulak gabah asal Kampung Kengkeng, Desa Rancasari, Kecamatan Pamanukan, mengatakan, dengan harga gabah yang mahal tentunya berpengaruh terhadap harga beras.
Tetapi, dengan kondisi seperti ini bandar gabah juga kebingungan, bahkan, sulit mencari gabah. "Harganya selangit, para bandar keteteran membeli gabah petani," ujar Endang, Selasa (19/2).
Seperti di Kabupaten Subang ini, wilayah yang sudah ada panen, baru di Desa Cicadas (Kecamatan Binong) serta Sukamandi (Kecamatan Ciasem). Itupun, belum merata. Masih sebagian. Karena wilayah panen sedikit, maka harga jual gabah dari petani sangat melambung. Bahkan, kecenderungannya terus naik.
Apalagi, bila bandar membeli gabah petani dengan sistem pembayaran tempo (hutang), harganya jauh lebih mahal. Selisihnya, mencapai Rp 20 ribu per kwintal. Misalkan, harga normalnya Rp 500 ribu per kwintal GKG, bila dihutang menjadi Rp 520 ribu per kwintal.
Diakui Endang, dengan kondisi tersebut, para bandar kesulitan menjual gabah atau beras. Jadi, permintaan pasar sulit terpenuhi. Padahal, bila kondisi normal, dia mampu menyuplai beras ke Pasar Induk Johar dan Kramatjati minimal 10 ton per pekan. Kini, dua ton saja sangat sulit.