REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas meyakini bahwa anak Ketua Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hilmi Aminuddin, Ridwan Hakim yang saat ini berada di luar negeri akan kembali ke Indonesia bila ayahnya memanggil.
"Kita tidak perlu ribut-ribut, tinggal bapaknya ustad Hilmi Aminuddin memanggil anaknya untuk kembali agar menghormati hukum. Menghormati hukum adalah bagian syariah Islamnya yang menjadi azas parpol itu, selesai," kata Busyro Muqoddas di Gedung KPK Jakarta, Rabu (20/2).
Ridwan Hakim dicegah ke luar negeri oleh KPK per 8 Februari 2013, tapi Ridwan ternyata telah pergi keluar Indonesia dengan pesawat Turkish Airlines TK67 pada 7 Februari pukul 19.49 WIB dengan tujuan Istanbul, Turki.
Karena Ridwan telah pergi keluar negeri maka ia tidak dapat memenuhi panggilan pemeriksaan KPK sebagai saksi dalam kasus suap pengurusan kuota impor daging di Kementerian Pertanian pada Jumat (15/2).
"Dugaan keterlibatan Ridwan sendiri saya tidak bisa menduga-duga karena dia keburu pergi keluar negeri, jadi tidak bisa disimpulkan," tambah Busyro.
Busyro hanya menyatakan bahwa Ridwan punya kaitan dengan bisnis di lapangan dalam impor sapi. "Kaitannya dengan temuan-temuan yang ada, saat ini sedang dikembangkan oleh tim satuan tugas yang bersangkutan, pada saatnya bila ada kemajuan signifikan akan disampaikan oleh juru bicara KPK," tambah Busyro.
Hilmi Aminuddin dan Ridwan Hakim diketahui memiliki peternakan sapi seluas 4 hektare di daerah Cibodas, Jawa Barat, terdapat sekitar 1.000 ekor sapi di tempat tersebut. Terkait kemungkinan Hilmi Aminuddin dipanggil, Busyro hanya mengatakan bila diperlukan akan dipanggil. "Kalau diperlukan akan kita panggil," ungkap Busyro.
Namun Busyro menegaskan penyelesaikan kasus suap kuota impor daging di Kementan ditangani KPK menggunakan pendekatan sistemik.
"Kasus bisnis daging sapi ini, sistem, sistem ini sedang kami kaji, tim penyidik juga melakukan pendalaman dan pendetilan dalam kerangka sistem untuk menemukan apakah sistem itu ada unsur-unsur korupsi atau tidak," kata Busyro menambahkan.
Artinya menurut Busyro, KPK tidak hanya fokus pada penyidikan orang per orang. "Bidang pencegahan menyampaikan hal (terkait sistem) ini kepada tim satgas agar pengembangannya tidak hanya pada perseorangan yang sekarang menjadi tersangka, mungkinkah yang lain juga tersangkut Ini kajian sistem, bisa saja dibuka penyidikan baru," kata Busyro menerangkan.
Tapi ia mengingatkan bahwa pengusutan yang dilakukan KPK tidak tergesa-gesa maupun diperlambat. "Tidak boleh 'grusak-grusuk', tidak boleh dicepat-cepatkan tapi juga tidak boleh diperlambat," ujar dia lagi.
KPK telah menetapkan empat tersangka dalam kasus tersebut yaitu mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, orang dekat Luthfi, Ahmad Fathanah, serta dua orang direktur PT Indoguna Utama yang bergerak di bidang impor daging yaitu Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi.
Lutfhi diduga mempergunakan pengaruh (trading in influence) kepada kadernya di PKS, Menteri Pertanian Suswono karena pengacara Luthfi, Mohammad Assegaf mengakui bahwa kliennya pernah berdiskusi dengan Suswono, Ahmad Fathanah, Maria Elisabeth Liman serta Elda Devianne Adiningrat untuk membahas kuota impor daging sapi pada Januari 2013.
KPK juga sudah menyita barang bukti berupa uang yang dibungkus dalam tas kresek hitam senilai Rp1 miliar sebagai nilai komitmen awal untuk mengamankan komitmen kuota daging sapi, uang itu merupakan bagian nilai suap seluruhnya diduga mencapai Rp 40 miliar dengan perhitungan 'commitment fee' per kilogram daging adalah Rp 5.000 dengan PT Indoguna meminta kuota impor hingga 8.000 ton.
Uang Rp 1 miliar tersebut saat ditemukan telah terbagi menjadi tiga bagian yaitu Rp 980 juta di dalam mobil Ahmad Fathanah, Rp 10 juta di dompet pria tersebut dan sisanya diduga diberikan kepada perempuan yang saat penangkapan bersama Fathanah, Maharani.
Juard dan Arya Effendi diduga melanggar Pasal 5 Ayat (1) atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20/2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara.
Sedangkan Ahmad dan Lutfi diduga melanggar Pasal 12 Huruf a atau b atau Pasal 5 Ayat (2) atau Pasal 11 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20/2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP mengenai penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji terkait kewajibannya.