REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Kekuatan militer mulai meneror pemerintahan Presiden Mesir Muhammad Mursi. Terselip juga pesan bakal ada pengalihan kekuasaan pada militer kembali, jika kebijakan Mursi tak kunjung memuaskan publik.
Ketegangan hubungan antara pemimpin Islam dan militer di Mesir tercium sejak tahun 2011 lalu. Usai aksi protes besar-besaran selama 18 hari yang dikenal dengan Arab Spring, kekuasaan Mesir beralih dari tangan Husni Mubarak ke Mursi.
"Pada dasarnya, militer tidak bakal mengizinkan stabilitas nasional tercipta di tangan masyarakat sipil," kata pengamat Mesir dari Century Foundation, Michael W. Hanna, Kamis (21/2).
Dia menilai pemikiran para pemangku kekuasaan militer tidak pernah cocok dengan pemikiran sipil. Di sisi lain, bukan pihak militer pula yang bisa diajak berunding jika pihak sekuler dan Islam menemui kata sepakat.
Gesekan militer dengan sipil bersumber dari rumor bahwa Mursi berencana mengganti menteri pertahanan sekaligus Kepala Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdel-Fattah el-Sissi.
Menurut kabar, sang jenderal sangat resisten terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin yang kini mendominasi pemerintahan.
El-Sissi juga sempat menegur Mursi bulan lalu karena tidak menawarkan solusi untuk mengatasi krisis politik. Bahkan, ia sempat berseloroh jika kondisi militer menemui dilema antara tugas melindungi fasilitas pemerintah dengan mengamankan para pemrotes.
"Kedua belah pihak mungkin tidak melaporkan suasana tegang. Namun pihak militer melihat pihak presiden yang ingin menggulingkan el-Sissi bisa menyulut serangan balik. Mereka mengklaim ada rasa saling menghormati, tapi kenyataannya tidak ada indikasi itu," kata Jenderal Mohammed Qadri Said.
Orang kepercayaan el-Sissi, Komandan Sedki Sobhi menyampaikan pesan implisit pada Mursi dan Ikhwanul Muslimin pekan ini. "Semua memantau yang terjadi pada bangsa ini. Jika rakyat Mesir tidak pernah memerlukan militer, mereka akan berhamburan di jalanan kurang dari beberapa detik," ujar Sobhi.