REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Dahnil Anzar Simanjuntak menilai 0tonomi daerah dan desentralisasi gagal memperkecil kesenjangan ekonomi antardaerah (Horizontal imbalance).
Menurut dia, otonomi daerah gagal karena disebabkan oleh dua faktor. ''Pertama, lemahnya konektivitas dan harmonisasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,'' ujarnya kepada Republika Online, Rabu (27/2).
Kondisi itu, kata dia, diperburuk oleh permasalahan domestik konektivitas antar-kabupaten/kota di dalam satu provinsi yang juga lemah dan tidak jelas. Padahal, menurut Dahnil, pembangunan ekonomi bertumpu pada kekuatan daerah mendorong investasi riil.
''Akumulasi-akumulasi kegiatan ekonomi daerah yang kuat itulah yang menjadi kekuatan ekonomi nasional,'' papar Dahnil.
Faktor kedua, lanjut dia, pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah bermasalah. ''Mekanisme dana alokasi umum (DAU), misalnya, yang tujuan utamanya untuk memperkecil kesenjangan fiskal antar daerah, faktanya justru memperlebar kesenjangan karena lobi-lobi pemda ke DPR dan pemerintah pusast melalui kementerian keuangan untuk memperngaruhi besaran DAU yang bisa diterima.''
Ia menilai formulasi baku DAU banyak dilanggar karena lobi politik tersebut. Akibatnya, daerah yang memiliki kapasitas fiskal lemah belum tentu mendapat DAU lebih besar dari daerah yg memiliki kapasitas fiskal besar.
''Jadi, catatan pentingnya adalah kita tidak bermasalah pada sistem otonomi atau desentralisasi keuangannya, tetapi masalah utama pencapaian ekonomi melalui anggaran negara sulit mendorong kesejahteraan dan perbaikan ekonomi yang lebih maksimal adalah karena permasalahan politik yang selalu mendistorsi pembangunan ekonomi kita, politisi yang destruktif dalam kegiatan politiknya, dan mengganggu maksimalisasi kesejahteraan ekonomi,'' papar Dahnil.