REPUBLIKA.CO.ID, MAMUJU -- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Barat, mengecam tindakan pengeroyokan terhadap wartawati sebuah televisi lokal ketika meliput sengketa lahan dan perusakan rumah di Desa Ranjau Pajang, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.
"Apapun alasannya, kami tetap mengecam tindakan kekerasan terhadap wartawan. Apalagi kasus ini menimpa wartawati Nurmilasari (23 tahun) yang tengah hamil. Ia dikoroyok hingga mengalami pendarahan saat bertugas meliput," kata Ketua PWI Sulbar Andi Sanif Atjo di Mamuju, Minggu.
Akibat pengeroyokan itu, Yuni mengalami pendarahan dan dikhawatirkan kandungannya keguguran setelah dikeroyok sejumlah orang diduga preman dan aparat desa di Ranjau Panjang saat meliput sengketa lahan.
Kasus pengeroyokan itu terjadi ketika Nurmilasari Wahyuni tengah meliput sengketa lahan di Desa Rantau Panjang pada hari Sabtu (2/3) kira-kira pukul 09.00 Wita.
Sanif menyampaikan, Yuni dikeroyok saat mengambil gambar. Beberapa orang di daerah itu berusaja merampas kamera Yuni serta sejumlah peratalatan yang dibawanya.
"Sangat memilukan karena ternyata tidak hanya merampas alat kerja seperti kamera, namun para pelaku kemudian ikut mengeroyok dan memukuli hingga korban luka memar hampir di sekujur tubuhnya," ungkap dia.
Andi menyampaikan, pengeroyokan di Paser semakin menambah deretan kasus kekerasan terhadap jurnalis setelah sebelumnya juga terjadi saat beberapa wartawan meliput insiden jatuhnya pesawat Hawk 200 Kabupaten Kampar, Riau.
"Pelaku kekerasan itu harus ditindak tegas secara hukum. Kami meminta aparat Polres di Paser mengusut tuntas atas kasus kekerasan wartawan," katanya.
Ia mengatakan, kekerasan terhadap jurnalis oleh oknum masyarakat tidak boleh dibiarkan karena melanggar Undang-Undang tentang Pers Nomor 40 Tahun 1999.
"Wartawan atau jurnalis dalam melaksanakan tugasnya telah dilindungi UU Pers. Makanya, kami mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab itu," ujar Ketua PWI Sulbar.