REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Dwipayana menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah sering menyatakan keadaan negara terancam. Ini mengesankan ia adalah seorang yang paranoid.
Menurut Ari, setiap ada ketegangan elite politik, ada manuver politik, maupun ada kelompok oposisi yang tidak menyukai kebijakannya, SBY selalu merasa teradapat ancaman negara.
Padahal itu merupakan bagian dari dinamika politik dan demokrasi saja. "Presiden terlalu mempersonalisasi ancaman negara. Ini terlalu berlebihan," katanya saat dihubungi Republika, Ahad (3/3).
Dalam proses politik, kata Ari, merupakan hal yang wajar jika terdapat politisi yang berbeda pendapat dengan SBY. Selama perbedaan pendapat itu masih dalam koridor konstitusi dan tidak melanggar konstitusi itu tidak masalah.
Ancaman negara itu, Ari menerangkan, seperti aksi kudeta pengambilalihan kekuasaan secara paksa, gerakan separatisme, dan disintegrasi. Selain itu juga aksi yang mengganggu jalannya pemerintah seperti aksi mensabotase kegiatan ekonomi secara menyeluruh dan aksi yang melumpuhkan pelayanan publik.
SBY merasa terancam, kata Ari, bukan hanya kali ini saja. Dulu SBY juga merasa akan ditembak teroris. Jika memang ada gerakan semacam itu, seharusnya SBY cukup menyampaikannya kepada Kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menangkap mereka yang mengganggu keamanan SBY.
"Tidak perlu disampaikan kepada publik jika memang terdapat konspirasi," katanya menegaskan.
Jika kritik terhadap SBY saja dianggap ancaman, ujar Ari, maka itu terlalu berlebihan. Jika ada pihak yang tidak menyukai langkah SBY dalam mengatur negara itu merupakan dinamika demokrasi. Seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman.
Dulu pada era Soeharto, Petisi 50 terhadap Soeharto dianggap sebagai ancaman negara. Ini merupakan bentuk personalisasi ancaman negara. Kadang personalisasi ancaman negara merupakan sebuah cara untuk membungkam oposisi agar mereka lumpuh. Jika ini menjadi cara memberangus oposisi maka demokrasi bisa terancam.